Sulitnya menggeneralisasi pengelolaan investasi
Senin, 15/03/2010 10:44:53 WIBOleh: Bowo Witjaksono Suhardjo
Kontrak pengelolaan dana (KPD) marak sejak pasar reksa dana mulai terdominasi oleh manajer investasi (MI) skala besar, terutama dengan pola pemasaran melalui perbankan.
Sebelumnya, KPD lebih banyak datang dari institusi seperti dana pensiun, asuransi, atau institusi lainnya, yang tidak ingin 'terkungkung' oleh peraturan investasi reksa dana yang mengharuskan hanya melakukan penempatan maksimal 10% per counter, dan tidak dapat melakukan ke dalam efek non-listed.
Pemakaian kata KPD sebenarnya merupakan hal yang kurang tepat karena banyak pihak yang menyalahartikannya sebagai 'produk' yang dikeluarkan oleh MI, bukan sebagai jasa pengelolaan investasi berdasarkan suatu kontrak investasi.
Malah ada beberapa pelaku pasar modal dan keuangan yang menganggap bahwa KPD sebagai suatu 'badan hukum' sehingga melakukan investasi untuk dan atas nama KPD, serta melakukan pembukuan bukan sebagai dana kelolaan (investment/marketable securities), melainkan penempatan di MI.
KPD merupakan terjemahan bebas dari discretionary services, yang pada dasarnya merupakan kontrak investasi antara manajer investasi dan nasabahnya. Kontrak ini seharusnya merupakan kontrak bilateral yang bisa dalam bentuk full discretionary ataupun limited/non discretionary.
Agar penjelasan ini tidak menjadi rancu, saya akan menggunakan istilah kontrak investasi (KI), bukan KPD.
Jadi sebetulnya KPD merupakan jasa yang dijual oleh manajer investasi dalam mengelola aset investasi nasabahnya dalam suatu bentuk kontrak antara manajer investasi dan nasabahnya.
Solusi investasi
Ketika persaingan menjadi lebih fearce (terutama di pemasaran melalui perbankan), banyak MI yang mulai mencari solusi investasi yang memiliki potensi imbal hasil investasi yang lebih dari reksa dana, tetapi dapat dipasarkan ke banyak pihak.
Karena itu timbul bentuk pengelolaan pooled of fund, baik dalam bentuk kontrak investasi kolektif (KIK) nonreksa dana-yang ditawarkan kepada maksimal 100 pihak dan dimiliki oleh maksimal 49 pihak, atau dikenal dengan prinsip penawaran nonpublik-serta KPD multilateral.
Konsep yang pertama merupakan cikal bakal dari reksa dana penyertaan terbatas (RDPT), dan sudah merupakan konsep yang memenuhi prinsip good corporate governance, dan seharusnya dapat memiliki NPWP terpisah. Konsep ini terbentuk berdasarkan prinsip KIK sesuai dengan UU Pasar Modal, sehingga merupakan KIK antara bank kustodian dan MI yang memiliki akta yang dinotarialkan.
Sedangkan KPD multilateral, merupakan struktur legal yang banyak dipakai oleh MI untuk dapat mengakomodasikan investor-terutama yang merupakan nasabah perbankan-untuk dapat berinvestasi dalam portofolio investasi efek yang tidak mengikuti prinsip investasi reksa dana, terutama batasan atas maksimum investasi ke dalam satu efek.
Jenis investasi yang dapat dilakukan melalui kontrak investasi yang dikelola MI adalah ke dalam aset dan surat berharga (efek) sesuai UU No. 8/1995 tentang Pasar Modal, Pasal 1 butir 5, baik yang ditawarkan melalui penawaran umum maupun yang tidak melalui penawaran umum. Hal yang perlu ditekankan dalam kontrak investasi ini adalah bilateral antara manajer investasi dan investor dan memakai bank kustodian sebagai pengelola administrasi investasi.
Bila dilakukan kepada banyak pihak, namanya akan menjadi kontrak investasi kolektif (KIK), yang mana dalam definisi efek sesuai dengan UU Pasar Modal, salah satu efek yang diakui adalah unit KIK.
Sebagai catatan, KIK merupakan terjemahan dari konsep trust law yang memungkinkan adanya kontrak multilateral dalam suatu pengelolaan investasi, dengan membentuk suatu kontrak antar MI sebagai pengelola investasi, dan bank kustodian sebagai pengelola administrasi investasi sekaligus sebagai wakil dari pemodal secara kolektif.
Hal itu memungkinkan adanya penerapan konsep legal owner (dalam hal ini KIK) dan benificiary owner (dalam hal ini investor pemilik unit KIK).
Bila kita menyimak kasus-kasus yang mencuat saat ini, yang memakai istilah KPD menawarkan produk/jasa investasinya kepada banyak pihak (multilateral), sehingga hal ini amat jelas bahwa ada kesalahpemakaian istilah KPD yang seharusnya bilateral. Hal ini hanya merupakan ulah dari segelintir oknum dari perusahaan MI dan dilakukan oleh perusahaan MI tertentu saja.
Menurut hemat saya, KPD tidak perlu diatur secara rigid atau perlu tercatat/izin/pernyataan efektif dari Bapepam-LK, karena adanya prinsip kebebasan melakukan kontrak antara para pihak sesuai dengan peraturan perundangan.
Namun, yang perlu dilakukan adalah penerapan keharusan pemakaian bank kustodian sebagai pengelola administrasi atas setiap kontrak investasi baik bilateral maupun multilateral dalam bentuk KIK.
Selain itu juga yang harus diterapkan peraturan tentang pengawasan, pelaporan dan law enforcement, prinsip reward and punishment-nya juga harus jelas. Hal ini akan meningkatkan kepercayaan pasar/investor terhadap Bapepam-LK serta industri pengelolaan investasi.
Apabila ada peraturan tambahan dimana kontrak investasi harus mengikuti pola RDPT, menurut saya, sangat bagus sepanjang yang diambil adalah esensinya yaitu harus merupakan KIK yang memiliki akta notarial, memakai bank kustodian sebagai pengelola administrasi investasi.
Namun apabila harus tercatat, dalam pengertian mendapat izin efektif dari Bapepam-LK serta adanya minimum investasi per pihak, maka hal ini tidak sejalan dengan prinsip kebebasan berkontrak.
Kriteria penilaian
Hal itu akan dapat memberikan dampak negatif bagi industri pengelolaan investasi bagi MI yang tidak termasuk 10 besar dana kelolaan reksa dana. Alasannya karena pada kenyataannya amat sulit bagi mereka yang tidak termasuk dalam kategori tersebut untuk bersaing dalam pengelolaan reksa dana.
Para investor perorangan, dana pensiun, dan asuransi, akan selalu membandingkan dengan kinerja dan dana kelolaan reksa dana yang dikeloa oleh MI yang termasuk dalam kategori tersebut.
Juga jumlah nilai total dana kelolaan juga menjadi salah satu kriteria penilaian pemilihan produk dan MI. Oleh karena itu, sebagai suatu konsekuensi logis secara bisnis, agar tetap survive maka banyak MI yang tidak termasuk dalam kategori tersebut menawarkan atau berkonsentrasi bukan di pengelolaan reksa dana, melainkan dalam bentuk kontrak investasi baik yang bilateral maupun kolektif.
Kondisi ini sebaiknya didukung oleh para pemangku kepentingan, seperti Bapepam-LK, asosiasi profesi, pelaku dan investor.
Dalam arti memberikan kebebasan kepada MI untuk memilih konsentrasi atas keahlian dan jasa serta produk apa yang bisa mereka tawarkan kepada calon investor, sesuai dengan keahlian yang mereka miliki.
Pada kenyataannya, perusahaan sekuritas juga banyak yang mengkhususkan keahliannya dalam bidang tertentu, misalnya fixed income, equity trading (ada yang khusus institusi, dan ada yang ritel), corporate finance, financial advisory, dan merger and acquisition.
Karena bila kita mengacu kepada sang guru pemasaran Philip Kotler, diferensiasi adalah merupakan salah satu kunci keberhasilan pemasaran. Demikian pula prinsip dari blue ocean, yang mengarahkan untuk bersaing di tempat yang belum banyak pesaingnya.
Jadi, menurut pendapat saya, peraturan perundangan yang ada saat ini (UU Pasar Modal dan Peraturan Bapepam-LK), terutama yang mengatur tentang pengelolaan investasi, sudah cukup memadai.
Namun perlu tambahan peraturan tentang pengawasan, pelaporan dan reward and punishment, serta yang paling penting adalah penegakan law enforcement-nya.
Sebagai catatan, kasus-kasus yang terjadi adalah karena ulah oknum dan hanya oleh beberapa perusahaan sekuritas/manajer investasi saja. Oleh sebab itu, otoritas sebaiknya tidak mengambil pendekatan generalisasi atau ojo gebrah uyah, jangan menyebar garam bila yang harus digarami mangkuk tertentu saja.
Otoritas jangan mengeluarkan peraturan yang malah dapat memberikan dampak negatif terhadap industri pengelolaan investasi khususnya, dan ekonomi Indonesia secara umum seperti adanya kemungkinan terjadi capital flight, yaitu investor lebih memercayakan pengelolaan investasinya pada MI di luar negeri.
Selain itu, agar dimungkinkan bagi MI untuk mengelola KIK nonreksa dana (berdasarkan UU Pasar Modal), yang KIK-nya dinotariatkan dan dapat memiliki NPWP terpisah, sehingga remote bancrupcy, good corporate terjaga, dan masalah NPWP/perpajakan juga dapat terpecahkan.
Oleh Bowo Witjaksono Suhardjo
Dirut PT Recapital Asset Management
Tidak ada komentar:
Posting Komentar