baca posting gw di link tersebut ... ga biasanya gw bisa berani mengekspektasikan dan memprediksikan bahwa GAIN DAHSYAT bisa terjadi di REKSA DANA SAHAM gw ... well, mungkin CUMA KEBETULAN doank, mirip seperti KATA TALEB, sang doktor statistik ahli maen obligasi dari amrik yang TENAR dengan karya tulisannya: BLACK SWAN :P
... jelas saat itu situasi KRISFINALO amat MENGGUNCANGKAN JANTUNG PARA INVESTOR, termasuk INVESTOR KELAS KAKAP LOKAL dan GLOBAL ... tapi gw SANTE MENAHAN SEMUA REKSA DANA GW dan MALAH BELI MASUK REKSA DANA SAHAM dan SEDIKIT REKSA DANA PENDAPATAN TETAP serta PASAR UANG ... malah dalam 2 bulan setelah Oktober 2008 gw berhasil MEREDEEM puluhan juta rupiah untuk JALAN2 BARENG keluarga di oz :) ... tampaknya jalan2 lagi di musim dingin oz tahun ini, gw bakal pake hasil REDEMPTION sebagian reksa dana saham gw dah, sementara NAB aset reksa dana saham dan total gw maseh tetap NANJAK ... well, liat aja dah :)
SAAT THE FED DITUNGGU lalu THE FED MENDENGARKAN PASAR clearly
NAB reksa dana saham yang gw ikutan per tanggal 26 Maret 2010 berdasarkan infovesta.com:
Fortis Ekuitas: 11015,26 GAIN (TERHADAP NAB per 28 Oktober 2008): +211,57%
Manulife Dana Saham: 7605,11 GAIN : +177,02%
Manulife Saham Andalan: 1227,07 GAIN: +213,21%
Phinisi Dana Saham: 13622,63 GAIN: +184,71%
PNM ekuitas syariah: 1420,71 GAIN: +164,35%
Schroder Dana Istimewa: 3699,66 GAIN: +181,06%
Schroder Dana Prestasi Plus: 16879,47 GAIN: +182,23%
ps. fortis ekuitas gw masuk sejak 2005, dengan NAB: 3454,97 berarti GAIN mutakhir= 218,82% ... nah beneran ocehan gw pada beberapa orang dan teman: KRISIS ITU JALAN PINTAS MENUJU KEBERHASILAN TINGGI dah ... seorang teman gw bilang, bukan krisis, tapi FLUKTUASI ... well doi juga benar, karena FUNDAMENTAL DASAR DARI SEGALA DASAR keberhasilan sebuah investasi apa pun adalah FLUKTUASI ANTARA HARGA BELI dan JUAL ... investor seni beli lukisan di harga 1 juta dolar, lalu jual lagi di harga 500.000 dolar karena KRISMON ... itu namanya rugi khan (ini contoh kehidupan sehari-hari yang benar-benar terjadi lho) ... well, gw berusaha sedapat mungkin TIDAK MAEN CUT LOSSES di reksa dana, dan maseh berhasil tukh ... tapi coba perhatikan daftar gw di atas yaitu GAIN pada semua reksa dana saham yang gw punya ... juga perhatikan juga imbal hasil fortis ekuitas sejak pertama kali gw masuk dan PADA SAAT KRISFINALO :)
ps lagi :
coba baca KOMENTAR OMBEN: http://investasireksadanaindonesia09.blogspot.com/2009/05/gain-nab-sdpp-6-bulan-sejak-bottom.html?showComment=1242119577562#comment-c7489923474171509133
dan baca JAWABAN GW juga ... dan liat hasil nya sbb:
pada saat gw posting tersebut, yaitu per tgl. 05 Mei 2009, imbal hasil SDPP sudah mencapai 70%
lalu saat gw sekarang tulis posting ini, 26 Maret 2010, imbal hasil SDPP: 182% terhadap 28 Oktober 2008
jadi ada selisih GAIN: DI ATAS 100%, padahal gw cuma memprediksikan 40-70% itu pun dengan KERAGUAN karena situasi KRISFINALO maseh ANGET ABIS, belum ada LEDAKAN DI PANSUS CENTURY yang MENGABAIKAN SAMA SEKALI KRISFINALO karena alasan politis
ggggggggggggggggHHHHHHHHHHHHHHHHHHHggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggggg
JAKARTA kontan. Industri reksadana tahun ini tumbuh subur. Otoritas Jasa Keuangan mencatat, dana kelolaan reksadana per Rabu (24/12) lalu menyentuh Rp 266,22 triliun. Jumlah ini naik 21,49% ketimbang posisi awal tahun atau year to date (ytd) senilai Rp 219,12 triliun.
Nurhaida, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK, menyatakan, pertumbuhan dana kelolaan reksadana ditopang meningkatnya kepercayaan investor terhadap industri reksadana. Hal ini tecermin dari kenaikan jumlah unit penyertaan sebesar 18,7% (ytd) menjadi 143,20 miliar unit pada 24 Desember 2014. "Kondisi ini menandakan, investor lebih banyak subscription daripada redemption," kata Nurhaida, Selasa (30/12). OJK mencatat, total net subscription mencapai Rp 29,42 triliun di periode yang sama.
Selain itu, kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan membaiknya perekonomian tahun ini berefek positif ke kinerja reksadana. Secara ytd hingga kemarin (30/12), IHSG melesat 22,29% menjadi 5.226,95.
Kinerja IHSG tertinggi keempat di kawasan Asia. Return IHSG di bawah indeks bursa Shanghai yang mencatat pertumbuhan tertinggi, yakni 49,07%, diikuti indeks bursa India (BSE) dengan return 28,82%, dan bursa Filipina dengan return 24,02%.
Nurhaida mengklaim, edukasi otoritas dan para pelaku pasar turut mendongkrak dana kelolaan reksadana. "Edukasi berpengaruh besar kepada investor dalam memahami produk reksadana dan risikonya," tutur dia.
Nurahman, Deputi Eksekutif Pasar Modal II OJK, mengatakan, kenaikan dana kelolaan juga didukung sejumlah peraturan yang diterbitkan otoritas. "Juga ditopang pengawasan OJK," klaim dia.
Head of Operation and Business Development Panin Asset Management Rudiyanto mengatakan, moncernya pasar modal justru memicu aksi ambil untung oleh para investor, termasuk di tempatnya meniti karier. Dana kelolaan reksadana Panin Panin Asset Management hanya naik tipis dari akhir 2013 sekitar Rp 11,4 triliun menjadi Rp 11,5 triliun di akhir November 2014. Ini merupakan total dana kelolaan reksadana di luar kontrak pengelolaan dana (KPD). "Investor merealisasikan keuntungan, terutama investor institusi," ungkap Rudiyanto. Mayoritas redemption terjadi di reksadana saham.
Tahun depan, Panin Asset Management menargetkan total dana kelolaan Rp 16 triliun-Rp 17 triliun. Caranya, memaksimalkan program yang saat ini sudah ada, seperti autodebit, program smart investment protection plan (SIPP) atau reksadana berbundel asuransi serta edukasi ke sejumlah daerah.
Editor: Sandy Baskoro
Suka Risiko Rendah, Bisa Lirik Reksa Dana
Oleh: Tio Sukanto
Ekonomi - Senin, 3 Juni 2013 | 18:59 WIB
INILAH.COM, Jakarta - Bagi pekerja usia produktif, antara 25-55 tahun ada baiknya menyisihkan 75% pendapatan ke produk reksa dana, jika memiliki pendapatan yang lebih.
Secara reguler investasi tersebut masuk ke portofolio diversifikasi. Tentunya memiliki risiko lebih rendah dibanding saham atau investasi lainnya. Apalagi di saat kondisi pasar saham yang tidak menentu. Bisa jadi, jawaban paling realistis adalah reksa dana.
"Untuk usia produktif, sebaiknya investasi di reksa dana. Karena memiliki risiko yang lebih rendah dibanding masuk ke saham, karena risiko jelas tinggi," ujar Vice President Head of Investment PT CIMB Principal Asset Management, Fadlul Imansyah kepada INILAH.COM di Jakarta, Senin (3/5/2013).
Di usia produktif tersebut setidaknya pekerja memilliki 30 tahun ke depan untuk beraktivitas yang produktif. Namun, ketika usia sudah menginjak 50 tahun, ada baiknya porsi investasi dikurangi besaranya, yaitu menjadi 25%. "Jika usia sudah 50 tahun ke atas, 75 persen adalah income, sementara investasi hanya boleh 25 persen," ujar Fadlul.
Sementara jika usianya sudah mencapai 55 tahun, lanjut Fadlul maka investasi yang harus diambil adalah pasar uang. "Mengingat market sedang koreksi, karakter investor memiliki peluang 50-50 persen. Tapi peluang di reksadana tetap yang terbesar," kata Fadlul.
Bagi investor yang memiliki horison investasi jangka panjang, dan ingin masuk secara bertahap pada reksa dana saham. Alasannya, kondisi tingkat daya beli dalam negeri yang masih tinggi. Target tingkat pertumbuhan produk domestik bruto 6,5% pada 2013 dan inflasi yag masih terjaga di posisi 5,90% per Maret 2013. Untuk itu, sektor konsumer masih menjadi investasi yang menarik.
Sementara, Dirut PT Schroder Invesment Management Indonesia, Michael Tjohjadi mengatakan prospek investasi saham di tahun 2013 masih ada ruang untuk tumbuh. Saham sektor infrastruktur, properti dan barang konsumsi masih menjadi penopang utama penguatan Indeks Harga Gabungan Saham (IHSG). [hid]
Suka Risiko Rendah, Bisa Lirik Reksa Dana
Oleh: Tio Sukanto
Ekonomi - Senin, 3 Juni 2013 | 18:59 WIB
INILAH.COM, Jakarta - Bagi pekerja usia produktif, antara 25-55 tahun ada baiknya menyisihkan 75% pendapatan ke produk reksa dana, jika memiliki pendapatan yang lebih.
Secara reguler investasi tersebut masuk ke portofolio diversifikasi. Tentunya memiliki risiko lebih rendah dibanding saham atau investasi lainnya. Apalagi di saat kondisi pasar saham yang tidak menentu. Bisa jadi, jawaban paling realistis adalah reksa dana.
"Untuk usia produktif, sebaiknya investasi di reksa dana. Karena memiliki risiko yang lebih rendah dibanding masuk ke saham, karena risiko jelas tinggi," ujar Vice President Head of Investment PT CIMB Principal Asset Management, Fadlul Imansyah kepada INILAH.COM di Jakarta, Senin (3/5/2013).
Di usia produktif tersebut setidaknya pekerja memilliki 30 tahun ke depan untuk beraktivitas yang produktif. Namun, ketika usia sudah menginjak 50 tahun, ada baiknya porsi investasi dikurangi besaranya, yaitu menjadi 25%. "Jika usia sudah 50 tahun ke atas, 75 persen adalah income, sementara investasi hanya boleh 25 persen," ujar Fadlul.
Sementara jika usianya sudah mencapai 55 tahun, lanjut Fadlul maka investasi yang harus diambil adalah pasar uang. "Mengingat market sedang koreksi, karakter investor memiliki peluang 50-50 persen. Tapi peluang di reksadana tetap yang terbesar," kata Fadlul.
Bagi investor yang memiliki horison investasi jangka panjang, dan ingin masuk secara bertahap pada reksa dana saham. Alasannya, kondisi tingkat daya beli dalam negeri yang masih tinggi. Target tingkat pertumbuhan produk domestik bruto 6,5% pada 2013 dan inflasi yag masih terjaga di posisi 5,90% per Maret 2013. Untuk itu, sektor konsumer masih menjadi investasi yang menarik.
Sementara, Dirut PT Schroder Invesment Management Indonesia, Michael Tjohjadi mengatakan prospek investasi saham di tahun 2013 masih ada ruang untuk tumbuh. Saham sektor infrastruktur, properti dan barang konsumsi masih menjadi penopang utama penguatan Indeks Harga Gabungan Saham (IHSG). [hid]
Secara reguler investasi tersebut masuk ke portofolio diversifikasi. Tentunya memiliki risiko lebih rendah dibanding saham atau investasi lainnya. Apalagi di saat kondisi pasar saham yang tidak menentu. Bisa jadi, jawaban paling realistis adalah reksa dana.
"Untuk usia produktif, sebaiknya investasi di reksa dana. Karena memiliki risiko yang lebih rendah dibanding masuk ke saham, karena risiko jelas tinggi," ujar Vice President Head of Investment PT CIMB Principal Asset Management, Fadlul Imansyah kepada INILAH.COM di Jakarta, Senin (3/5/2013).
Di usia produktif tersebut setidaknya pekerja memilliki 30 tahun ke depan untuk beraktivitas yang produktif. Namun, ketika usia sudah menginjak 50 tahun, ada baiknya porsi investasi dikurangi besaranya, yaitu menjadi 25%. "Jika usia sudah 50 tahun ke atas, 75 persen adalah income, sementara investasi hanya boleh 25 persen," ujar Fadlul.
Sementara jika usianya sudah mencapai 55 tahun, lanjut Fadlul maka investasi yang harus diambil adalah pasar uang. "Mengingat market sedang koreksi, karakter investor memiliki peluang 50-50 persen. Tapi peluang di reksadana tetap yang terbesar," kata Fadlul.
Bagi investor yang memiliki horison investasi jangka panjang, dan ingin masuk secara bertahap pada reksa dana saham. Alasannya, kondisi tingkat daya beli dalam negeri yang masih tinggi. Target tingkat pertumbuhan produk domestik bruto 6,5% pada 2013 dan inflasi yag masih terjaga di posisi 5,90% per Maret 2013. Untuk itu, sektor konsumer masih menjadi investasi yang menarik.
Sementara, Dirut PT Schroder Invesment Management Indonesia, Michael Tjohjadi mengatakan prospek investasi saham di tahun 2013 masih ada ruang untuk tumbuh. Saham sektor infrastruktur, properti dan barang konsumsi masih menjadi penopang utama penguatan Indeks Harga Gabungan Saham (IHSG). [hid]
mmmmmmmmmmmmmmmmmmmNNNNNNNNNNmmmmm
Book of the Week: Antifragile
True public intellectuals are a rare breed. The talking heads that regularly command millions of eyeballs on 24-hour news channels may have the capacity to make nuanced arguments and use complex reasoning, but their chosen venue seems to actively discourage both activities. Meanwhile, those with thoughts that do not break down into easily digestible sound bites often struggle to give their ideas enough pizzazz to interest anyone outside the ivy-covered walls of a university campus.
By contrast, Nassim Nicholas Taleb makes a convincing 21st-century public intellectual. Not that Taleb would embrace such an identity; he prefers the term skeptical empiricist. Still, the Lebanese-born writer has all the tools to get his ideas into wide circulation. He is erudite, humorous, iconoclastic and fierce in the defense of his beliefs. At the same time, he is not afraid to challenge his audience with difficult concepts, possibly because his pedigree as a former Wall Street quant and derivatives trader gives him the kind of credentials that make people want to listen.
But while Taleb often draws on his experience in finance to get his points across, his books are about much more than banking and trading. His latest effort, “Antifragile: Things That Gain from Disorder,” is no exception. In the book, Taleb claims that many things actually benefit from stress, volatility and a healthy dose of disarray. He uses a metaphor from human physiology to make his point, noting that people who stress their muscles to the breaking point get stronger precisely because of the stress. He deems things that react this way as anti-fragile, and he delights in how anti-fragility can allow people to thrive in a world where random and unpredictable stressors lurk around every corner. The trick, he claims, is not to avoid random shocks, but rather to create a system that actually improves by experiencing such unexpected jolts.
Starting from this premise, Taleb is off to the races, not only sharing copious examples of things that benefit from a healthy dose of trauma, but also offering harsh critiques of the people and institutions that fight to smooth life’s many wrinkles. Taleb certainly has enough scorn to go around, but he is especially tough on strategic planners, social engineers and institutions such as the Federal Reserve that “attempt to suck randomness out of life.”
Perhaps the greatest irony in “Antifragile” is that Taleb is striking at the foundations of contemporary intellectualism. So much modern brainpower is dedicated to formulating a theoretical framework to make predictions about the future, but the author claims the thought and research that go into making these predictions is largely wasted effort. Instead, he firmly believes in the maxim that the best-laid plans often go awry, and we should be positioning ourselves to benefit from the random events that so often ruin our plans. In short, Taleb calls for less theorizing and more empiricizing, making him one of the most intriguing anti-intellectual public intellectuals around.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar