gW suka BANGET ketidakPASTIan

gW suka BANGET ketidakPASTIan

Jumat, 24 Februari 2012

punya modal, INVE$

Pilih Mana: Memutar Uang atau Menimbunnya? Oleh Herry Gunawan | Newsroom Blog – Rab, 22 Feb 2012
... well, 2 hal menarik dalam tulisan ini : 1. GDP @ Rp7400 T berarti nyaris $1 T 2. soal pemanfaatan uang sebesar itu, jawabannya cuma satu DIINVESTASIKAN, secara TEPAT dan BERMANFAAT (seharusnya) ... jadi NO CORRUPTION, NO IDLED ASSETTS
Beberapa waktu lalu, Badan Pusat Statistik mengumumkan besaran Produk Domestik Bruto Indonesia tahun 2011 mencapai sekitar Rp 7.400 triliun. Angka inilah yang biasa dijadikan indikator besarnya pendapatan nasional Indonesia dalam satu tahun tertentu itu.
Menariknya, jika kita melihat data jumlah uang yang beredar, nilainya tidak sebesar itu melainkan “hanya” kurang lebih Rp 280 triliun. Lantas bagaimana bisa jumlah uang beredar sekecil itu menghasilkan pendapatan nasional yang demikian besar?
Kuncinya ada pada perputaran uang yang beredar.
Ekonom berkebangsaan Amerika Serikat, Irving Fisher, pernah mengatakan bahwa harga barang tidak hanya dipengaruhi oleh jumlah uang beredar. Namun juga dipengaruhi oleh kecepatan peredaran uang. Dalam ekonomi, hal ini biasa disebut teori kuantitas uang. Hubungannya dengan pengumuman BPS tadi, untuk menghasilkan pendapatan nasional sebesar Rp 7.400 triliun dengan jumlah uang beredar sebesar Rp 280 tiliun, maka rata-rata tiap rupiah harus berputar atau berpindah tangan sebanyak 26 kali dalam bentuk transaksi.
Semakin cepat uang itu berpindah, perputarannya makin tinggi. Maka celaka jika uang yang ditabung masyarakat di bank tidak disalurkan dalam bentuk kredit, melainkan disimpan dalam Sertifikat Bank Indonesia. Jelas tidak produktif.
Ilustrasi ini menjelaskan betapa pentingnya perputaran uang terhadap perekonomian nasional. Sehingga jika Anda ingin memiliki kontribusi lebih terhadap perekonomian, maka jangan sekadar simpan uang Anda di bawah bantal. Selain karena nilai uangnya akan berukurang akibat inflasi, Anda juga ikut berperan menghambat laju percepatan perekonomian. Seperti yang dilakukan bank dengan menyimpannya di surat berharga.
Meskipun sangat dianjurkan untuk mendorong pergerakan roda perekonomian, perputaran uang yang salah — seperti banyak menempatkan dana di surat berharga oleh perbankan — bisa menimbulkan masalah lain. Akibat tidak tersalurkan ke sektor riil, perputaran uang pada sektor keuangan jauh lebih cepat dan meninggalkan perputaran uang pada sektor riil. Dengan begitu, pertumbuhan uang lebih cepat dibandingkan pertumbuhan barang. Akibatnya, nilai uang menjadi berkurang dan muncullah apa yang disebut dengan inflasi.
Terjun langsung dalam memutar uang seperti membuka usaha (yang dapat mempekerjakan orang) memang jauh lebih bagus dan nyata. Namun, untuk sebagian orang yang tidak mampu terjun langsung tentunya akan menyerahkan pada pihak ketiga. Misalnya yang paling sering terjadi, menyerahkannya kepada bank dalam bentuk tabungan atau deposito.
Agar perputaran uang tetap terjadi tetapi nilai uang tetap terjaga, maka sebagai pemilik dana kita harus sedikit teliti kemana harus mempercayakan aset itu. Jika memilih perbankan setidaknya kita harus tahu berapa Loan to Deposit Ratio (LDR) atau rasio pinjaman yang disalurkan dibanding dana pihak ketiga yang direngkuh bank.
Sehingga, kita bisa membayangkan kemana uang itu diputarkan. Jika rasio pinjaman terhadap dana pihak ketiga ini besar, kemungkinan uang kita untuk diputarkan pada sektor riil semakin besar. Sebaliknya, jika LDR ini rendah maka uang kita akan diendapkan dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia atau diputarkan di pasar uang — yang berarti potensi mendorong inflasi. Pilihannya ada di kita. Ke mana mau kita gunakan uang kita? Apakah dibiarkan disimpan di bawah bantal dan habis dikorupsi oleh inflasi, atau diputar di pasar uang yang juga akan turut mendorong inflasi?
Atau, digunakan sebagai modal usaha di sektor riil yang berarti bermanfaat bagi kita sebagai pemilik uang? Perputaran uang yang tinggi di sektor riil serta menekan inflasi agar lebih rendah akan memicu perekonomian nasional yang tumbuh berkualitas. Herry Gunawan adalah mantan wartawan dan konsultan, kini sebagai penulis dan pendiri situs inspiratif: http://plasadana.com

Kamis, 23 Februari 2012

RD PT ati-ati tuh

JAKARTA. Spekulasi yield surat utang pemerintah tidak lagi menarik, kian melemahkan otot rupiah. Mata uang Garuda ini pun tertekan untuk hari yang ketiga. Nilai tukar rupiah melemah 0,1% ke level Rp 9.077 per dollar AS pada pukul 10.22 di Jakarta. Jika dihitung dalam sebulan ini, rupiah sudah tergerus 0,9%. Minat pasar masuk ke obligasi surut, lantaran berkembang spekulasi yang menyebutkan yield obligasi pemerintah sudah tidak menarik lagi bagi asing. Hal ini terjadi setelah bank sentral secara tak terduga memangkas bunga acuan. Data Bloomberg menunjukkan, asing mengurangi kepemilikan di obligasi pemerintah Indonesia sebesar Rp 3,8 triliun sepanjang bulan ini hingga 20 Februari. Pada 9 Februari lalu, Bank Indonesia memang telah memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 5,75%. Saat ini, yield obligasi pemerintah Indonesia bertenor 10 tahun berada di level 5,29%, dibandingkan yield obligasi Italia 5,51%, dan 5,56% untuk yield obligasi Polandia. "Rupiah kemungkinan cenderung turun, hari ini. Investor mencari keuntungan lebih tinggi di Eropa yang lebih menarik. Ini masih sebagai dampak pemangkasan suku bunga di awal bulan ini," kata Taufan Tito, dealer valuta asing di PT Bank Rakyat Indonesia, di Jakarta. http://investasi.kontan.co.id/news/spekulasi-asing-hindari-sun-rupiah-kian-melemah/2012/02/23 Sumber : KONTAN.CO.ID ... karena fundamental RD Pendapatan Tetap (fixed income) pada surat utang, jika banyak investor (terutama ASIEN-k) jual surat utang/obligasi pemerintah, maka NAB rdpt bisa terkoreksi ... so watch out LIKUIDITAS ASING: Pasar obligasi RI harus lebih menarik Oleh Hendri Tri Widi Asworo Jum'at, 02 Maret 2012 | 18:48 WIB bisnis indonesia JAKARTA: Pemangku kepentingan perlu segera mendorong gairah pasar surat utang untuk menyerap likuiditas asing yang masuk ke dalam negeri sehingga agar tidak menimbulkan gejolak apabila sewaktu-waktu ada sentimen negatif global. Dana tersebut bisa dimanfaatkan sebagai modal atau pembiayaan lembaga keuangan untuk pembangunan sektor riil. Hal tersebut harus segera direspon oleh regulator agar Indonesia tidak kehilangan momentum. Ekonom ISEI Mirza Adityaswara mengatakan pasar obligasi pasar uang saat ini masih belum berkembang dibandingkan dengan sejumlah negara tetangga lainnya. Padahal dengan momentum peringkat layak investasi, aliran dana yang masuk bisa dijadikan modal dengan bunga murah. “Pasar obligasi subdebt masih belum berkembang seperti pasar saham sehingga dana yang dapat digali dari pasar obligasi subdebt tidak bisa besar, termasuk subdebt buat bank besar,” ujarnya kepada Bisnis, akhri Februari 2012. Dalam suatu makalahnya, Mirza menerangkan pasar surat utang harus dikembangkan, karena dengan jumlah dana pihak ketiga bank sebesar Rp2.600 triliun jumlah obligasi sektor keuangan hanya Rp91 triliun. Dari total surat utang itu, sambungnya, jumlah obligasi subordinasi bank hanya Rp20 triliun. “Hal ini sangat ironis,sehingga perlu segera dikembangkan pasarnya,” tuturnya. Selain itu, ungkapnya, dengan kapitalisasi pasar modal yang cukup besar jumlah instrumen surat utang masih sangat terbatas karena tidak ada commercial deposit dan convertible bond. Padahal di sejumlah negara tetangga instrument itu banyak beredar. Menurutnya, perlu ada sejumlah stimulus dan kemudahan pendukung untuk melakukan pendalaman pasar uang, seperti perpajakan dan regulasi. Bank Indonesia sebelumnya menyatakan akan merevisi ketentuan penambahan modal dari instrumen obligasi subordinasi yang dinilai menghambat industri perbankan dalam berekspansi. Ketatnya regulasi bank sentral acap kali membuat investor enggan menyerap surat utang yang diterbitkan bank. Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah mengatakan penambahan modal yang paling bagus dengan modal disetor. Namun, apabila pemilik bank memiliki keterbatasan menambah modal secara langsung, bisa melakukan tambahan modal dengan menerbitkan surat utang. “Sebetulnya modal disetor paling bagus dari pemiliknya, kalau dia [pemodal] nggak punya bisa berutang, tapi utang mirip seperti modal. Oleh karena itu, obligasi yang bisa dianggap sebagai modal tidak sama dengan obligasi biasa,” ujarnya di Jakarta, pekan ini. Dia menyadari ada beberapa pendapat dari kalangan industri perbankan yang menilai regulasi bank sentral terlalu ketat dalam mengatur ketentuan terkait penerbitan surat utang sebagai komponen modal pelengkap bank. Untuk itu, ungkapnya, bank sentral tengah mengkaji regulasi terkait obligasi subdebt agar lebih bersahabat bagi investor, sehingga memudahkan perbnakn dalam mengakses modal dari penerbitkan surat utang tanpa mengurangi tingkat kehati-hatian bank. (Bsi)

Sabtu, 18 Februari 2012

doyan RD, nee yee ... 180212

PILIHAN INVESTASI: Nasabah HSBC di Jatim doyan reksa dana Oleh Bunga Citra Arum Nursyifani Rabu, 15 Februari 2012 | 18:56 WIB bisnis indonesia SURABAYA: HSBC memprediksi tren investasi nasabah advance dan premier di Jawa Timur tahun ini masih di reksa dana dan obligasi. Steven Suryana, Head of Wealth Management HSBC Indonesia, mengatakan selama ini instrumen investasi yang menjadi favorit nasabah di segmen tersebut adalah reksa dana saham. Namun permintaan untuk obligasi, terutama obligasi ritel Indonesia (ORI) tahun lalu cukup besar, bahkan sempat oversubscribed. “Untuk obligasi, nasabah tertarik dengan tawaran return yang cukup tinggi, walaupun tenornya cukup panjang. Tahun ini, kedua instrumen itu masih akan jadi favorit,” katanya dalam konferensi pers, hari ini 15 Februari 2012. Nasabah advance HSBC merupakan nasabah dengan saldo mengendap lebih dari Rp20 juta, baik berupa tabungan maupun investasi. Sedangkan nasabah premier memiliki saldo minimal Rp500 juta. Steven menambahkan, tahun ini bank juga akan memacu penyaluran obligasi korporasi, mengingat dengan return yang sama tinggi, tenornya tidak terlalu panjang. Hartini Saputra, Head of Retail Banking, Branch Sales, and Distribution Outregion HSBC Indonesia, mengatakan saat ini, baru 50% dari nasabah di segmen tersebut di Jatim yang menginvestasikan dananya. Per Agustus 2011, nasabah yang masuk dalam segmen advance HSBC di wilayah Surabaya mencapai 13.000 rekening. “Selain mengharapkan pertumbuhan nasabah yang double digit, kami juga berharap nilai dana yang mereka investasikan juga meningkat,” ungkap Hartini. Dalam studi yang dilakukan HSBC tercatat bahwa profil investasi segmen tersebut di Indonesia masih bergerak di instrumen konvensional seperti deposito dan tabungan. Mereka juga belum memanfaatkan instrumen lain, seperti pasar uang dan saham. "Di Indonesia 84% masyarakat dalam dengan simpanan Rp500 juta ke atas mayoritas masih mengalokasikan dananya di deposito dan tabungan,” tutur Steven. (faa)

Jumat, 17 Februari 2012

RDPT 2012 ... 170212

Reksa Dana Pendapatan Rupiah: Prospek 2012 Anastasia Joice | Erlangga Djumena | Senin, 6 Februari 2012 | 07:56 WIB Geliat Reksa Dana pendapatan tetap kembali meningkat terkait tingginya imbal hasil obligasi pemerintah dalam rupiah atau SUN (Surat Utang Negara). Mengutip informasi dari Infovesta berupa Indeks Reksa Dana Pendapatan Tetap, pertumbuhan jenis reksa dana ini selama 2011 sebesar 12,32 persen. Indeks ini menunjukkan rata-rata pertumbuhan imbal hasil dari reksa dana pendapatan tetap yang ada di Indonesia. Walaupun cukup tinggi, kinerja indeks imbal hasil ini masih di bawah pertumbuhan imbal hasil dari SUN selama 2011. Parameter pergerakan obligasi pemerintah SUN dapat dicermati melalui indeks yang disebut HSBC IDR Bond Index. Indeks merupakan indeks yang merata-ratakan pergerakan harga dari obligasi SUN yang telah diterbitkan pemerintah. Berdasarkan indeks tersebut, SUN selama 2011 mencatatkan kenaikan 21,3 persen. Besarnya imbal hasil dari reksa dana pendapatan tetap ini cukup menggembirakan karena jenis reksa dana ini menjadi alternatif investasi mengingat reksa dana saham menunjukkan kinerja yang kurang menggembirakan terutama diakibatkan oleh pertumbuhan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang hanya 3,2 persen. Menganalisa prospek reksa dana pendapatan tetap pada 2012 tak lepas dari analisa prospek pertumbuhan obligasi pemerintah SUN maupun obligasi korporasi karena dua instrumen ini adalah instrumen investasi utama dari reksa dana pendapatan tetap. Kinerja SUN 2011 sebagai motor utama RD Pendapatan Tetap Selama 2011, obligasi pemerintah SUN mencatatkan pertumbuhan yang menggembirakan. Kenaikan pada 2011 ini melanjutkan sukses kenaikan pada tahun 2009 dan 2010 yang masing-masing naik 21,1 persen dan 22,4 persen. Berbeda dengan kenaikan obligasi pemerintah SUN pada tahun 2009 dan 2010 yang dimotori oleh pembelian investor asing. Para investor asing membeli obligasi pemerintah SUN sebesar Rp 20 triliun pada tahun 2009 dan Rp triliun di tahun 2010. Di tahun 2011, investor asing tetap mencatatkan pembelian bersih (net buy) obligasi pemerintah SUN sebesar Rp 27 triliun, tetapi jumlah ini masih di bawah net buy yang dilakukan oleh BI (Bank Indonesia) sebesar Rp 43 triliun. Oleh karena itu, BI menjadi institusi yang paling aktif menjadi pembeli SUN di 2011. Pada tahun 2011 ini, bank dan reksa dana tercatat sebagai pihak yang mencatatkan penjualan terbesar obligasi pemerintah SUN yaitu masing-masing sebesar Rp 5 triliun dan Rp 4 triliun. Pada tahun 2011 ini, dana pensiun juga tercatat sebagai pihak yang mencatatkan penjualan bersih (net sell) sebesar Rp 2 triliun. Pada sisi lain, kenaikan obligasi pemerintah SUN pada 2011 ini mengkokohkan kinerja obligasi pemerintah Indonesia menjadi obligasi dengan kinerja terbaik di antara negara-negara utama Asia yaitu Cina (5 persen), Malaysia (5 persen), Thailand (5,1 persen), Korea Selatan (6,3 persen), Singapura (6,5 persen), dan Philipina (12,8 persen). SUN juga mencatkan kinerja terbaik di antara negara-negara utama Asia dalam hal rata-rata pertumbuhan dalam 8 tahun terakhir. Dalam kurun waktut tersebut, obligasi pemerintah SUN telah tumbuh sekitar 16 persen. Faktor positif penggerak SUN di 2012 Sebagai underlying asset utama dari reksa dana pendapatan tetap, obligasi pemerintah SUN diprediksi tetap akan tumbuh positif pada 2012 ini. Ada tiga faktor yang diharapkan dapat mengangkat harga SUN. Faktor pertama penggerak SUN di 2012 adalah dinaikkannya peringkat utang Indonesia oleh Fitch dan Moddy’s menjadi Peringkat Layak Investasi (Investment Grade Rating). Kenaikan peringkat ini terbukti telah menurunkan persepsi risiko Indonesia yang terefleksi dari turunnya CDS (Credit Default Spread), turunnya imbal hasil SUN dan meningkatnya arus modal asing. Dalam hal penurunan CDS, sehari setelah pengumuman peningkatan peringkat oleh Fitch pada 15 Desember 2012, CDS 5 tahun langsung turun 5 point. Secara keseluruhan CDS sebelum kenaikan peringkat oleh Fitch berada pada posisi 225, namun dengan kenaikan peringkat Indonesia oleh Moddy’s pada 18 Januari 2012, CDS Indonesia berada pada 190. Prospeks SUN di 2012 juga akan cerah dengan mempertimbangkan kebijakan BI yang melakukan pembelian SUN dalam rangka menjaga kestabilan harga SUN. Kebijakan ini berdampak sangat positif terutama ketika pertengahan September 2011 ketika harga obligasi pemerintah SUN anjlok akibat arus dana keluar (outflow) yang besar berkait dengan krisis Eropa yang memburuk. Selain itu, kebijakan BI untuk membeli SUN ini dimaksudkan untuk menggantikan instrumen kebijakan moneternya dari SBI (Sertifikat Bank Indonesia) menjadi SUN. Sentimen Negatif SUN di 2012 Terlepas dari sentimen positif bagi SUN untuk menguat di tahun 2012, terdapat faktor-faktor yang potensial menjadi sentimen negatif buat pasar SUN. Faktor tersebut adalah kekhawatiran inflasi, berlanjutnya krisis Eropa dan besarnya rencana penerbitan SUN baru oleh pemerintah di tahun ini. Bahaya inflasi menjadi faktor yang sangat diperhitungkan oleh pelaku pasar obligasi. Ini terutama berkaitan dengan rencana pemerintah untuk memberlakukan pembatasan konsumsi bahan bakar bersubsidi ataupun kenaikan harga bahan bakar bersubsidi. Apapun kebijakan yang diambil pemerintah berkaitan dengan bahan bakar tersebut akan berdampak signifikan terhadap angka inflasi. Berdasarkan perhitungan skenario asumsi pembatasan ataupun kenaikan harga, inflasi diprediksi akan melonjak hingga sekitar 5,5 persen -6 persen. Proyeksi inflasi sebesar ini akan memicu BI untuk menurunkan tingkat inflasi dengan menaikkan BI Rate. Kenaikan BI Rate akan mendorong kenaikan imbal hasil SUN yang juga berarti harga SUN akan melemah. Krisis Eropa yang belum menunjukkan solusi komprehensif juga berpotensi sebagai faktor pengambat rally harga Obligasi Pemerintah SUN. Kejadian di bulan September 2011 dimana terjadi sudden reversal outflow akibat memburuknya krisis Eropa menjadi indikator penting bahwa investor asing masih menjadi salah satu pihak yang dominan dalam kepemilikan SUN. Pada akhir Juli 2011, kepemilikan asing sempat menyentuh Rp 248,87 triliun tetapi kemudian di akhir September anjlok menjadi Rp 218,1 triliun. Berkaitan dengan rencana penerbitan obligasi pemerintah baru oleh pemerintah dalam hal ini DJPU (Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Negara), besarnya penerbitan dikhawatirkan akan mengakibatkan pasar obligasi kebanjiran pasokan sehingga mendorong harga terkoreksi akibat terbatasnya permintaan (demand). Pada tahun 2012 ini pemerintah akan menerbitkan obligasi baru dengan nilai total Rp 240,4 triliun. Namun demikian, total netto penerbitan obligasi pemerintah pada 2012 (setelah dikurangi obligasi pemerintah yang akan jatuh tempo) sebesar Rp 134,6 triliun. Penerbitan obligasi baru ini untuk menutup defisit anggaran 2012 sebesar 1,5 persen dari GDP atau sebesar Rp 124 triliun. Kekhawatiran kelebihan supply ini mengacu kepada survei demand Obligasi Pemerintah 2012 yang dilakukan oleh Kementrian Keuangan dimana total demand adalah Rp 84,5 triliun. Ini artinya terdapat perbedaan yang cukup besar antara supply and demand dari obligasi pemerintah yang dapat menyebabkan harga obligasi turun. Obligasi Korporasi sebagai alternatif untuk mendapat yield yang tinggi bagi Reksa Dana Pendapatan Tetap Mengingat imbal hasil obligasi pemerintah yang sudah cukup rendah, minat investor untuk berinvestasi pada reksa dana pendapatan tetap dikhawatirkan akan menurun di 2012. Sebagai informasi, obligasi pemerintah SUN yang menjadi benchmark 10 tahun memberikan imbal hasil hanya 5,3 persen atau 5,03 persen setelah dipotong pajak. Sementara itu untuk obligasi pemerintah SUN bertenor 5 tahun, 15 tahun dan 20 tahun masing-masing memberikan imbal hasil 4,65 persen, ,8 persen dan 6,25 persen sehingga net imbal hasil setelah dipotong pajak adalah 4,42 persen, 5,5 persen dan 5,94 persen. Rendahnya imbal hasil ini salah satunya dapat disiasati dengan menambah alokasi pada obligasi korporasi. Obligasi korporasi masih memberikan imbal hasil yang cukup menarik. Obligasi korporasi dengan peringkat AAA masih memberikan selisih imbal hasil (yield spread) sebesar 273 basis poin (bps). Yield spread obligasi korporasi ini melebar cukup siginifikan pada bulan Oktober. Pada akhir September yield spread masih pada kisaran 229 bps. Sementara itu untuk obligasi korporasi dengan peringkat lebih rendah memberikan yield spread yang sangat menarik. Posisi per akhir Januari 2012, rating A+ mampu memberikan yield spread 406 bps dan rating A- masih memberikan yield spread 505 bps. Ini berarti bahwa untuk Obligasi Korporasi dengan tenor 5 tahun yang memiliki rating A+ mampu memberikan imbal hasil sekitar 8,48 persen sedangkan Obligasi Korporasi dengan tenor yang sama namun dengan rating A- mampu memberikan imbal hasil 9,7 persen. Oleh karena itu secara umum, prospek reksa dana pendapatan rupiah cukup baik pada tahun 2012 ini mengingat potensi imbal hasil yang menarik bagi investor. Imbal hasil tersebut bersumber dari potensi penguatan harga obligasi SUN dan obligasi Korporasi yang masih memberikan suku bunga yang menarik. Obligasi SUN masih berpotensi menguat mengingat Indonesia memperoleh kenaikan peringkat utang menjadi Investment Grade Rating dari Fitch and Moddy’s dan berkaitan dengan kebijakan BI untuk membeli SUN sebagai instrumen kebijakan moneternya. Pada sisi lain, kekhawatiran pelemahan harga obligasi pemerintah SUN akibat inflasi tereduksi karena pembeli utama SUN adalah investor asing yang tidak terekspos risiko inflasi Indonesia. Selain itu kekhawatiran pelemahan harga obligasi pemerintah SUN akibat oversupply juga akan tereduksi karena kebijakan BI yang akan tetap membeli SUN sebagai instrumen moneternya pengganti SBI. (Penulis : Syuhada Arief - VP Investment PT. CIMB-Principal Asset Management)

Rabu, 15 Februari 2012

Mandiri kejar tayang 2012 ... 150212

JAKARTA– PT Mandiri Manajemen Investasi (MMI) menargetkan total dana kelolaan (asset under management/ AUM) senilai Rp25 triliun pada tahun ini. Total dana kelolaan MMI pada akhir tahun lalu tercatat sebesar Rp21,4 triliun.
Direktur Utama MMI Abiprayadi Riyanto mengatakan, untuk mencapai target dana kelolaan tahun ini, MMI berniat menerbitkan sejumlah reksa dana baru. Selain RDPT berbasis proyek infrastruktur, MMI berencana menerbitkan 2–3 reksa dana saham.”Untuk reksa dana konvensional,kami akan menerbitkan 2–3 reksa dana saham dengan tema yang berbeda.Tapi, masih godok,” katanya di Jakarta kemarin. Selain reksa dana saham, MMI juga akan menerbitkan beberapa reksa dana terproteksi untuk mengganti reksa dana terproteksi miliknya yang segera jatuh tempo. Adapun, dana kelolaan MMI mayoritas dikontribusi dari reksa dana terproteksi mencapai 50%, 20–25% dari reksa dana pasar uang dan sekitar 12% dari reksa dana saham dan produk investasi lainnya. Abiprayadi mengatakan, MMI berencana menerbitkan reksa dana penyertaan terbatas (RDPT) berbasis proyek infrastruktur senilai Rp500 miliar. Ini menyusul sektor infrastruktur yang akan tumbuh signifikan pada tahun ini. Menurutnya, sektor infrastruktur harus direalisasikan lebih cepat guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi domestik. ”Untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, kita akan berpartisipasi dengan menerbitkan reksa dana terkait infrastruktur,”katanya. Dia mengatakan, pihaknya telah melakukan pembicaraan dengan beberapa perusahaan dan mendekati sekitar 2-3 proyek terkait infrastruktur.Adapun, proyek tersebut adalah pembangkit listrik (power plant) karena tingginya kebutuhan terhadap listrik, terutama di daerah terpencil dan jalan tol. Nilai RDPT berbasis infrastruktur tersebut sekitar Rp400–500 miliar. Dia berharap RDPT diterbitkantahunini. Namun,adasejumlah hal yang harus dipersiapkan, seperti uji kelayakan (feasibility study) dan pembebasan lahan. ”Persiapannya tidak sebentar, tapi kami berharap bisa diterbitkan tahun ini,”ujarnya. Abiprayadi menambahkan, jika proyek di pembangkit listrik dan jalan tol berhasil, maka perusahaan akan merambah ke proyek yang lebih besar, seperti penyediaan air minum. Kendati demikian, MMI akan berhati-hati dalam memilih proyek lantaran investor menginginkan imbal hasil (return) yang menarik. Direktur Utama Mandiri Sekuritas Harry M Supoyo berpendapat, kekuatan ekonomi di bidang infrastruktur yang baik membutuhkan peran pasar modal yang kuat. Menurut dia, peluang untuk mengembangkan sektor infrastruktur sangat luas namun diperlukan skala prioritas.”Investor mengerti mengenai meningkatkan perekonomian,namun ini bisnis sehingga mereka harus mendapatkan imbal hasil yang bagus. Proyek harus memberi imbal hasil yang baik bagi perusahaan,”tutur dia. Ekonom Mandiri Sekuritas Aldian Taloputra berpendapat, masuknya Indonesiadalamlevel layak investasi harus dibarengi dengan percepatan pembangunan infrastruktur.Menurut dia, Undang-Undang (UU) pengadaan lahan yang baru diterbitkan pemerintah pada akhir tahun lalu akan memberikan kepastian bagi investor untuk berinvestasi di sektor tersebut. http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/469427 /Sumber : SEPUTAR INDONESIA

Sabtu, 04 Februari 2012

surat utang itu KEREN ... 200312

PENJUALAN SUKUK RITEL SERI SR-004 Banyak investor tak kebagian sukuk ritel Oleh Wahyu Satriani Ari Wulan - Selasa, 20 Maret 2012 | 06:53 WIB kontan Banyak investor tak kebagian sukuk ritel
JAKARTA. Masa penjualan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk ritel seri SR-004, berakhir sudah. Permintaan beli mengalir deras selama masa pemesanan, hingga nilai order yang masuk mencapai Rp 19 triliun.
Pemerintah akhirnya hanya mengambil tawaran penempatan dana di SR-004 senilai Rp 13,6 triliun. "Ini nilai penjualan tertinggi dibandingkan emisi sukuk ritel seri-seri sebelumnya," ujar Rahmat Waluyanto, Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, Senin (19/3).
Pemerintah menolak seluruh permintaan kenaikan jatah penjualan (upsize) yang diajukan para agen penjual senilai Rp 5,47 triliun. Alasan pemerintah, target Rp 13,6 triliun sudah tinggi.
Pemerintah menimbang profil jatuh tempo dan potensi risiko refinancing mengingat instrumen ini hanya memiliki tenor 3,5 tahun. Likuiditas yang berlimpah di awal tahun, juga menjadi alasan pemerintah untuk tidak mengambil seluruh tawaran penempatan dana yang diterima. "Kami juga menimbang ketersediaan aset dasar untuk sukuk, jangan sampai nanti habis untuk ritel saja karena nanti masih ada lelang sukuk non ritel juga," papar Rahmat.
Total investor SR-004 ini mencapai 17.606 investor. Sebanyak 82,6% atau 14.588 investor membeli Sukri senilai di bawah Rp 100 juta hingga Rp 1 miliar (lihat infografis).
Sukartono, analis obligasi BNI Securities, menilai, keputusan pemerintah tidak menyerap seluruh penawaran yang masuk juga dipengaruhi tingkat kupon. SR-004 berkupon 6,25%, bandingkan dengan SUN seri acuan tenor tiga tahun yang imbal hasilnya di bawah 5%. "Pemerintah pasti memperhitungkan biaya dana yang harus ditanggung," ujar dia.
Incar pasar sekunder
Luluk Mahfudah, Direktur Korporasi Bank Muamalat, menuturkan, dari total komitmen penjualan Rp 100 miliar, Muamalat mengajukan upsize menjadi Rp 120 miliar sesuai dengan pesanan pembelian yang masuk dari investor. Apa daya, permintaan upsize ditolak pemerintah. "Terpaksa sisanya tidak bisa dipenuhi. Kami akan mendaftar yang pesan lebih dulu," ujar dia.
Wientoro Prasetyo, Presiden Direktur Lautandhana Securindo, mengungkapkan, jatah penjualan Lautandhana sudah tercapai sebesar Rp 200 miliar. "Target terpenuhi, kami sudah tidak menerima pemesanan lagi," ujarnya.
Melonjaknya permintaan SR-004 di pekan terakhir pemesanan, tidak lepas dari penurunan bunga penjaminan LPS menjadi 5,5%. Itu berarti, bunga deposito bank ikut luruh. Imbasnya, "Para deposan banyak yang beralih ke Sukri," ujar Wientoro.
Sukri menjadi instrumen favorit menggantikan porsi deposito. "Selain risikonya kecil, sukri bisa jadi jaminan kredit dan likuid di pasar," imbuh Luluk. Para investor yang tidak kebagian membeli di pasar perdana, bisa memburu instrumen tersebut di pasar sekunder. Sukartono memprediksi, harga SR-004 berpotensi meningkat 1% daripada harga at par selama satu minggu pertama diperdagangkan di pasar sekunder.

Feb. 3, 2012, 1:49 a.m. EST Major investors buying emerging-market debt By V. Phani Kumar, MarketWatch HONG KONG (MarketWatch) — Behind a blizzard of negative headlines about the developed world’s debt problems, emerging-market bonds in Asia and elsewhere are catching the eye of global investment managers looking not just for yield, but also for stability and sustainable growth. The attention being paid to emerging markets isn’t merely appreciation for a block of countries that have worked their way out of the crises of the last 15 years — in Asia, Russia and Argentina — to lay the foundation of a solid economic edifice. Against the backdrop of low growth and negligible yield in much of the industrialized world, heavyweight fund managers say a structural shift in favor of emerging-market debt is now underway. “Over the next decade, we think that international bond markets will grow in popularity much as international equity markets did in the past decade,” said Michael Hasenstab, a portfolio manager and co-director at a division of Franklin Templeton Investments that manages $145 billion in fixed-income assets globally. “While emerging debt markets may not have been very liquid or well developed in the past, foreign-exchange and bond markets have significantly deepened, and the number and type of instruments have broadened … across a wide range of countries,” he said. For emerging markets, the opportunity from a structural shift in fund flows can potentially assume overwhelming proportions. Nearly $100 trillion in outstanding debt was held by fixed-income investors around the world as of June 2011, according to the Bank of International Settlements, making bonds the heavyweight hitter among asset classes. But more than 70% of all such public and private debt was issued, both locally and internationally, from the Group of Seven major economies — the U.S., U.K., Japan, Germany, France, Italy and Canada. In contrast, key emerging nations such as China and India restrict foreign investments in local bonds. Little exposure The total amount of debt issued by emerging market entities is minuscule compared to that from the developed economies, a fact that is well captured by global bond indexes. In the Barclays Global Aggregate Bond Index, the total weighting of all emerging-market bond issuers was less than 6% as of Dec. 31, 2011. “Over the next decade, we think that international bond markets will grow in popularity much as international equity markets did in the past decade.” -- Michael Hasenstab, Franklin Templeton Kenneth Akintewe, a fixed-income portfolio manager at Aberdeen Asset Management, says his team speaks with investors who “even at this stage” have zero exposure to Asia fixed-income strategies, but adds that this is changing. In addition to global investors, regional central banks could also be expected to invest in regional bonds, he said. “The good news is the investment flows into markets like Indonesia, as well as regional markets in general, are becoming increasingly structural in nature. There has been far less participation in the market by ‘fast money’ type investors and far more participation by real money, longer-term focused investors,” he said. Nathan Chaudoin, an investment director at HSBC Global Asset Management, said that while the return expected by individual investors would determine how they allocate their money, an ideal globally diversified fixed-income portfolio should have 8% to 15% in securities from the developing world, considering their risk and volatility characteristics. A deterioration in the expected Sharpe ratio — a technical measure of the reward for risks taken — of the developed markets due to increased volatility calls for a greater exposure to emerging markets than in the past, he said. Watch the risk Part of the reason for the low exposure of international money managers is that many bond investors put a premium of safety over return. As a result, they have a greater bias toward debt of their home countries rather than securities issued by other countries, at least when compared with investors of other major asset classes. Investors also prefer developed bond markets over those in emerging markets because of the abundant liquidity and depth provided by their home markets. The home-bias is felt during periods of stress in global markets, through an appreciation of so-called hard currencies such as the U.S. dollar (NYE:DXY) and the Japanese yen (ICAPC:USDJPY) , as well as an increase in prices of Treasurys and German bunds, as investors rush home. David Falkof, a mutual-funds analyst at Morningstar Inc., said that despite having “essentially stronger fundamentals” than the developed world, the risks associated with such behavior and an appreciation of the dollar sometimes outweigh the entire income offered by higher yields on emerging-market debt. Still, with yields on benchmark 10-year government bonds of several developed nations near historic lows, investors are taking a deeper look at emerging markets. Guillermo Osses, managing director and head of emerging market debt at HSBC Global Asset Management, said that in addition to lower debt levels and stronger current-account balances, many emerging nations have also accumulated vast foreign-exchange reserves, essentially making them “creditors to the rest of the world.” HSBC’s debt funds, which plan to overweight emerging-market currencies and credit spreads in 2012, raised more than $1 billion in 2011 from institutional investors seeking the additional yield, as well as stability, said Osses, adding that the euro-zone crisis is providing the impetus. “The superior credit quality that many emerging-market sovereigns have been able to achieve should provide some comfort to the investor in that, if they are able to handle volatility, returns will be realized,” said Osses. “Given the low interest-rate environment, we continue to see investors adapt a meaningful strategic allocation to emerging-market debt, given their higher yields and political stability,” he said. Franklin Templeton’s Hasenstab said that, unlike developed markets in the U.S., Japan and the euro-zone, emerging nations have a different set of problems to deal with: inflation against the backdrop of strong growth, though with low levels of debt and high levels of policy flexibility. “Going forward, we believe that these dynamics form an environment in which it is quite likely that emerging-market countries will continue to need to tighten policies. As a result, we are positioned in [those] countries with strong underlying dynamics, but remain on the shorter end of the curve,” he said. When borrowers say no The interest in emerging-market debt can potentially provide a sizeable and alternate source of funding for governments and corporations alike. But borrowers are just as cautious as investors in some nations. India offers an example of this: The South Asian country currently caps foreign investments at $15 billion for government bonds, $20 billion for corporate bonds and $25 billion for infrastructure bonds. Indian government debt is currently rated at investment grade level by Fitch Ratings. Last month, Moody’s upgraded the nation’s short-term foreign-currency bank deposits to investment grade from speculative grade. D.K. Joshi, chief economist at ratings agency Crisil, says that India has only gradually increased the amount that foreigners can invest in the country, because the local markets aren’t developed enough to withstand a sharp and sudden withdrawal of those investments during global shocks. “You don’t just open up the markets. In today’s environment, you know that short-term debt flows are destabilizing. From that perspective, [it’s better that] you follow a cautious and prudent approach,” he said. Supply, demand and bubbles Indeed, fund managers say that the supply of debt, rather than demand, is a constraint for foreign investments. Given the limited avenues for investment at present, large fund inflows could potentially create asset bubbles. Aberdeen’s Akintewe said the good fiscal performance of a majority of Asian governments also limits the supply of debt — a financially strong nation doesn’t need to raise as much debt as a weak country. “The importance of capital-market development is, of course, well understood among most regional policy makers. So there is a push to broaden the depth and liquidity of bond markets,” he said. He cited the example of countries such as Singapore, which don’t need to raise debt but do so “in the spirit of capital-market development.” Demetrios Efstathiou, head of fixed-income strategy for Central & Eastern Europe, Middle-East and Africa at the Royal Bank of Scotland, said that while there was a shift toward emerging markets debt “for sure,” there weren’t any signs of a bubble at present. “Even though, overall, emerging markets have better fundamentals than developed markets, [signs of a bubble] are not currently reflected in foreign exchange or local bond yields,” he said. One shining example of an emerging market that is benefiting from improving fundamentals is Indonesia, which is seeing strong foreign-fund interest after both Moody’s and Fitch recently upgraded the nation’s debt to investment grade. Aberdeen’s Akintewe, however, said that while foreigners own about 30% of Indonesia’s tradable bond market, estimated at 730 trillion rupiah ($81.75 billion), the nation could adequately counter any major sell-off by foreigners in the event of a global shock. The country’s policy makers, armed with accumulated cash balances and $110 billion in foreign-exchange reserves, were well equipped to protect themselves, he said. He also said growing demand wasn’t likely to raise fears of a potential bubble. “The transition of the global economy will result in [demand] being a phenomena that lasts for several decades,” Akintewe said.

Jumat, 03 Februari 2012

Januari @RD, statis ... 030212

NAB reksa dana masih didominasi produk reksa dana saham dan terproteksi. Jumlah total nilai aktiva bersih (NAB) reksa dana per Januari 2012 meningkat Rp 400 miliar menjadi Rp 163,55 triliun dari Desember 2011 hanya mencapai Rp 163,15 triliun. Jumlah NAB tersebut, tidak termasuk reksa dana penyertaan terbatas (RDPT). Meski kenaikan NAB relatif flat, namun ada sedikit pengurangan jumlah unit penyertaan. Jika per Desember 2011, unit penyertaan (UP) reksa dana mencapai 98,55 miliar unit, maka pada Januari 2012, UP reksa dana turun sebanyak 140 juta unit menjadi sebanyak 98,41 miliar unit. Berdasarkan situs Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) per 3 Februari 2012, NAB reksa dana masih didominasi produk reksa dana saham dan terproteksi. Dari total NAB sebesar Rp 163,55 triliun tersebut, jumlah NAB reksa dana saham mencapai 35,52 persen dari total NAB atau sebesar Rp 58,94 triliun. Sedangkan porsi reksa dana terproteksi sebesar 24,67 persen atau Rp 40,93 triliun. Urutan ketiga pemberi kontribusi terbesar adalah reksa dana pendapatan tetap (fixed income) sebesar 17,88 persen atau senilai Rp 29,67 triliun. Selanjutnya, reksa dana campuran (mixed) sebesar 12,96 persen atau senilai Rp 21,51 triliun. Sedangkan sisanya reksa dana pasar uang dan reksa dana syariah. Reksa dana pasar uang berkontribusi sebesar 6,16 persen untuk total NAB atau senilai Rp 10,22 triliun. Sedangkan total NAB reksa dana syariah mencapai sebesar Rp 3,81 triliun atau sebesar 2,33 persen dari total NAB. Adapun NAB syariah terbesar adalah reksa dana syariah campuran (mixed) sebesar Rp 1,71 triliun diikuti NAB syariah saham senilai Rp 922 miliar. Sisanya reksa dana syariah pendapatan tetap (fixed income) dan terpoteksi, dengan nilai masing-masing sebesar Rp 683,37 dan Rp 499,31 miliar. http://www.beritasatu.com/ekonomi/29586-januari-nab-reksa-dana-capai-rp-163-55-t.html Sumber : BERITASATU.COM

Kamis, 02 Februari 2012

mudah @RD, karna ada SUPIRNYA ... :P

Bermain Reksadana Lebih Mudah Dibanding Saham Tribunnews.com - Kamis, 2 Februari 2012 18:25 WIB Bermain Reksadana Lebih Mudah Dibanding Saham Laporan wartawan Tribun Medan, Irfan Azmi Silalahi TRIBUNNEWS.COM, MEDAN - Pengelola situs investorindo.com, Eri Rahman, menjelaskan, untuk terjun di komoditi saham, investor harus mengetahui fundamental saham tersebut. Bagi pemula yang ingin berinvestasi di bidang saham atau reksadana, harus banyak belajar. Namun akan lebih efisien dan tepat jika bermain reksadana sebab pengelolaan dana bisa dilakukan oleh analisis yang ahli. "Sebenarnya bermain reksadana sedikit mudah. Untuk tahap awal penyetoran bisa melakukan dengan jumlah dana Rp 500 ribu," ujarnya di Medan, Kamis (2/2/2012). Sementara, sedikit berbicara terkait saham, bagi masyarakat yang tertarik bermain saham, ia menyarankan saat ini masyarakat bisa membeli saham BRI (BBRI) dan Indofood (INDFS). Ia meyakini, saham di dua sektor ini cukup kompetitif untuk lokal, di mana menjelang lebaran nanti, ia optimistis terjadi kenaikan saham sebesar 20 persen dari harga normal. "Untuk BBRI 7050 atau satu lot Rp 3.525.000, dan INDF 4900 atau satu lot Rp 2.450.00, simpan saja sampe menjelang lebaran, Insya Allah terjadi kenaikan 20 persen. Hal itu juga bisa berubah tergantung situasi ekonomi dan politik Indonesia," ujarnya.

schroder @67 T perak @2012 ... 020212

Presiden Direktur Schroder Investment Management Indonesia Michael Tjoajadi menargetkan dana kelola pada 2012 sebesar RpRp67-68 triliun. Saat ini dana yang dikelola Schroder mencapai Rp62 triliun. "Jadi ada peningkatan sekitar 10 persen dibandingkan tahun lalu," kata Michael Tjoajadi, usai acara Economic and Capital Market Outlook Indonesia 2012, di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Kamis, 2 Februari 2012. Michael menuturkan reksadana saham pada tahun lalu memberikan keuntungan tipis dibanding reksadana pendapatan tetap. Namun pada 2012 diharapkan kinerja saham akan lebih baik dibandingkan obligasi. "Namun volatilitas di pasar saham akan terus terjadi dan memberi dampak pada pasar modal," ujarnya. Tahun ini, manajer investasi masih berharap pada kinerja saham yang naik. Fund manager juga harus memberikan produk yang bisa memenuhi kebutuhan klien. "Bekerja lebih keras lagi, dan memberikan servis yang lebih baik dari sebelumnya," ujarnya. Seperti diketahui pertumbuhan reksadana terus meningkat. Pada Desember 2011, total nilai aktiva bersih sebesar Rp163,15 triliun. Dibanding pada awal tahun lalu (Januari 2011) sebesar Rp136,07 triliun. http://bisnis.vivanews.com/news/read/285007-target-dana-kelola-schroder-rp68-t-pada-2012 Sumber : VIVANEWS.COM