gW suka BANGET ketidakPASTIan

gW suka BANGET ketidakPASTIan

Sabtu, 28 Januari 2012

Obligasi PERUSAHAAN diincar, RDPT ?? ... 280112

STRATEGI INVESTASI: Lembaga investor pilih obligasi korporasi Oleh M. Tahir Saleh Jum'at, 27 Januari 2012 | 19:47 WIB ... investasi surat utang/obligasi itu terkait dengan investasi reksa dana pendapatan tetap ... JAKARTA: Investor institusional akan cenderung memilih obligasi korporasi dan saham dengan mengincar imbal hasil tinggi guna menyelaraskan investasi jangka panjang sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Direktur Investasi PT Taspen (Persero) Taufik Hidayat mengatakan sebagai perusahaan yang mengelola asuransi, jaminan hari tua, dan dana pensiun tentu horizon investasi dalam jangka panjang. Oleh karena itu, strategi investasi yang dipilih menyesuaikan dengan kebutuhan jangka panjang. Dia mengatakan meskipun tingkat bunga turun drastis, akan tetapi investor institusional seperti Taspen tidak bisa menghindari kebutuhan atas pembelian obligasi. “Investor institusional prefer ke bond korporasi dengan return yang besar. Bagaimana dengan saham? Meskipun semester pertama dan kedua up and down, namun kami masih bisa untung. Selama tahun lalu performa luar biasa meski naik 3,2%, tapi termasuk 3 negara dengan indeks positif,” katanya dalam acara “Investasi dan Portofolio 2012” di Jakarta, hari ini, Jumat, 27 Januari 2012. Dia mengatakan faktor pendorong laju imbal hasil (yield) obigasi korporasi turun di antaranya fundamental ekonomi dalam negeri yang baik sehingga bisa menurunkan yield obligasi karena risiko rendah. Selain fundamental, rendahnya suku bunga global dan domestik juga menyokong penurunan yield. Hal itu, katanya, terefleksikan dengan likuiditas pasar yang tinggi ketika pemerintah menjual SUN dan kelebihan permintaan hingga Rp50 triliun padahal target indikatif Rp7 triliun. Adapun faktor penghambat turunnya yield obligasi korporasi di antaranya krisis global yang belum selesai, besarnya pasokan obligasi korporasi di mana jumlahnya mencapai Rp134,6 triliun dengan jumlah tahun ini diperkirakan emisi baru Rp40 triliun. Dengan kondisi tersebut, kata Taufik, investor institusional seperti dana pensiun lebih memilih obligasi dengan return tinggi. Strateginya, katanya, perseroan membeli obligasi pada awal tahun dan meningkatkan frekuensi trading obligasi. Terkait dengan saham, dengan proyeksi indeks harga saham gabungan (IHSG) antara 4.500 dab 5.500 akan mendorong perseroan memperbesar saham dan mengerucutkan porsi deposito. “Kami juga tingkatkan trading di tengah fluktuasi saham. Ada satu lagi, yakni reksa dana. Kami akan diversifikasi, bisa kami jadikan benchmark,” katanya. (LN)

Selasa, 24 Januari 2012

rdPU @cimb + principal ... 240112

JAKARTA: PT CIMB-Principal Asset Management menggandeng PT Bank CIMB Niaga Tbk sebagai agen pemasaran produk reksa dana pasar uang CIMB Principal Cash Fund. CIMB Principal dan CIMB Niaga, yang sama-sama anggota Grup CIMB, menandatangani kontrak kerja sama pada akhir pekan lalu. ”Pembentukan Reksa Dana CIMB-Principal Cash Fund sebagai alternatif investasi jangka pendek di pasar uang dengan tingkat pengembalian yang lebih menarik dibandingkan dengan deposito,” ujar Direktur CIMB Principal Reita Farianti dalam siaran persnya hari ini, 24 Januari 2012. Budiman Tanjung, Head of Prefered Private Wealth Management CIMB Niaga, menilai produk bernama CIMB-Principal Cash Fund itu dapat menjadi solusi bagi nasabah yang membutuhkan investasi jangka pendek dengan tingkat pengembalian yang maksimal. Hingga akhir tahun lalu, CIMB Principal mengelola reksa dana senilai Rp1,43 triliun, menurun dari posisi Desember 2010 sebesar Rp1,7 triliun. http://www.bisnis.com/articles/pemasaran-reksa-dana-cimb-niaga-gaet-principal-cash-fund Sumber : BISNIS.COM

Jumat, 20 Januari 2012

reksa dana TOP DUNIA ditinggalkan ... 200112

Investors exit big-name funds as stars fail to shine ReutersReuters – 38 minutes ago By Sinead Cruise and Tommy Wilkes LONDON (Reuters) - Investors rattled by unpredictable global markets are losing faith in star managers to shield them from painful losses, with some of the industry's best known names topping a list of funds which hemorrhaged cash in 2011, Lipper data shows. Edouard Carmignac, the investment veteran who founded funds firm Carmignac Gestion, and Sanjeev Shah, the Fidelity Worldwide Investments trailblazer, are among those who struggled to maintain cult followings, after a flight to safety tempted fans to switch into cash and other passive products. Carmignac's 5.7-billion-pound Investissement A Fund suffered the equivalent of 919.3 million pounds of net outflows in the year to December 31, the second-largest spate of annual redemptions recorded by all mutual funds available for sale in the UK, the data from Lipper shows. Investors pulled 491 million pounds from Shah's 2.2-billion-pound Special Situations Acc Fund over 2011, the 17th largest loss in absolute terms of all the 6,400-plus funds tracked by the data. Andrew Whiteley, director at financial advisor Provisio, said managers' failure to navigate volatile markets last year, as well as growing investor awareness about cheaper products, was combining to hit demand for these long-celebrated names. "Many 'star' managers were caught without shorts when the tide went out (in 2011) and I think that investors have started to look at cost as a filter for fund selection ahead of performance," he said. Failing to beat even benchmarks last year is hurting reputations, especially at a time when more and more investors are turning to exchange traded funds (ETFs), which trade like stocks and offer less-costly index exposure. Carmignac's fund dropped 12.87 percent last year, underperforming the MSCI AC World CR USD index, while Shah's fund slumped 14.61 percent versus a 4.17 percent fall in the FTSE All-Share TR index, Lipper data shows. "As an equity fund, Carmignac Investissement A was naturally affected in 2011 by the general rise in risk aversion among European investors. Consequently, the Fund suffered some outflows," Investment Committee Member Didier St Georges said. Shah, who stepped into Anthony Bolton's shoes to run the UK portion of the Special Situations fund, said strong momentum bias in markets had hurt his investment style. The fund saw some larger, institutional investors shift money out of the fund as a result of asset allocation, a Fidelity spokesperson added. PULLING POWER Other star managers to lose pulling power last year included Will Landers, the BlackRock manager whose BGF Latin American Fund A2 USD suffered the biggest investor exodus in absolute terms in 2011. The fund lost the equivalent of 938 million pounds and now runs 2.97 billion pounds, the Lipper data showed. BlackRock blamed the outflows on European volatility but said they expected Latin America to outperform relative to global equity markets when markets stabilized, as was the case during the turmoil of 2008 and 2009. Aled Smith, manager of M&G's 1.23-billion-pound American A Inc fund, lost the equivalent of 781 million pounds, ranking it in seventh spot, according to the Lipper data. M&G said Smith's 3-5 year investment approach faced performance headwinds in 2011 as the market chased perceived safety and immediate cash returns at the expense of the long term picture of individual companies, no matter how sound. JP Morgan Asset Management provided its own numbers for Austin Forey's $6.32-billion Emerging Markets Equity Fund, which saw $1.48 billion leave, a larger outflow in absolute terms than that posted by BlackRock's Will Landers. "We did see some European institutional investors completely reduce their emerging markets (EM) exposure in an indiscriminate manner across all funds, not just this particular fund. In many cases they sold out of all their EM holdings," Emily Whiting, client portfolio manager at JP Morgan, said. Much of the money flowed into bond and liquidity funds, though some has started to trickle back this year, she added. BRAND APPEAL It wasn't just individual names who suffered hefty outflows. Some fund firms had several products in the top 50, indicating a fall in the pulling power of a brand as well as a star manager. The asset management arm of UBS, the Swiss bank shaken by a rogue trader scandal, suffered extensive outflows in several funds, including money market funds. The firm's 3.09-billion-pound UBS (Lux) Money Market Fund - USD P-acc lost the equivalent of 897 million pounds, the third largest outflow of any fund, according to Lipper data. The UBS (Lux) Money Market Fund CHF P-acc shed the equivalent of 357 million pounds, leaving it with just 877 million in December. The Euro version lost 480 million, to end the year managing 1.69 billion pounds, the data shows. Meanwhile, UBS watched 288 million pounds leave its 316 million pounds (Lux) Eq Fd - Emerging Markets (USD) P-acc fund, and 225 million pounds leave its (Lux) Eq Fd - Euro Co Multi Strategy fund, which now manages the equivalent of 642 million pounds. UBS confirmed the numbers but declined to comment further. (Editing by Mark Potter)

Kamis, 19 Januari 2012

danareksa YAKIN terproteksi dan pendapatan tetap

Danareksa Telurkan 6 Produk Reksa Dana Baru \ Oleh: Agustina Melani Ekonomi - Kamis, 19 Januari 2012 | 17:48 WIB INILAH.COM, Jakarta - PT Danareksa Investment Management (DIM) meluncurkan 6 produk reksa dana terbaru awal tahun ini. Reksa dana tersebut terdiri dari tiga reksa dana terproteksi dan tiga reksa dana pendapatan tetap. "Dengan optimisme tinggi, kami memulai tahun 2012 dengan meluncurkan produk-produk tersebut, meski kondisi pasar masih dipengaruhi krisis Eropa," tutur Direktur Danareksa Investment Management Zulfa Hendri dalam siaran persnya di Jakarta, Kamis (19/1). Salah satu reksa dana terproteksi yang diluncurkan yakni Danareksa Proteksi Pendapatan Dinamis I. Produk ini dapat memberikan proteksi 100% terhadap pokok investasi, disertai dengan tingkat pengembalian hasil stabil dan terukur sehingga investor bisa memperoleh hasil bersih (nett) sampai dengan 6,5% per tahun. "Selain itu investor juga mendapatkan pembagian dividen produk ini dalam waktu periodik per tiga bulan," ujar Zulfa. Lebih lanjut ia mengatakan, produk ini memiliki komposisi instrumen minimal 80% dalam obligasi korporasi yang memperoleh peringkat idAA+ dari Pefindo, dan minimal 20% pada pasar uang. Untuk dua reksa dana terproteksi lainnya yaitu Danareksa Proteksi Pendapatan Maxima II dan III yakni produk reksa dana terproteksi yang fokus berinvestasi pada surat utang negara (SUN). "Saat ini penjualan seluruh reksa dana terproteksi tersebut dilakukan bank nasional. Dengan waktu singkat penjualan telah mencapai 100% dari yang ditetapkan," tutur Zulfa. Sementara untuk tiga reksa dana pendapatan tetap, yaitu Danareksa Melati Pendapatan Tetap IV dan V dengan total komitmen Rp200 miliar. Danareksa Melati Platinum Rupiah II dengan indikasi imbal hasil bersih minimal 6% per tahun. Produk ini memiliki komposisi 80% SUN dan durasi terkonsentrasi pada jangka pendek dan menengah. Selain itu, maksimum 20% dananya dapat ditempatkan pada posisi saham agar para investor berpeluang memperoleh tambahan pengembalian dana (return) dari pasar saham dengan resiko rendah. [mre]

Rabu, 11 Januari 2012

reksa dana saham JANUARY EFFECT 2012

January Effect Bertaji Bagi Reksadana Saham Oleh: Ahmad Munjin Pasar Modal - Rabu, 11 Januari 2012 | 07:02 WIB INILAH.COM, Jakarta - Momentum January Effect 2012 diprediksi tak terlalu bertaji dibandingkan window dressing. Karena itu, untuk mendapatkan return yang optimal belum tentu berhasil. Analis Infovesta Utama, Edbert Suryajaya mengatakan, pada Januari memang ada momentum January Effect yang diharapkan IHSG bisa positif. Tapi menurutnya, dalam 10 tahun terakhir reksadana saham tidak 100% naik pada Januari. Kondisi ini, lanjutnya, berbeda dengan Desember saat IHSG memiliki momentum window dressing. Reksadana saham 100% mengalami kenaikan dalam 10 tahun terakhir. “Jadi, untuk Januari, kita tidak punya kesimpulan reksadana saham sekuat Desember,” katanya kepada INILAH.COM, di Jakarta. Menurutnya, pada peluang kenaikan reksadana saham pada Januari antara 40% (peluang turun) dan 60% (peluang naik) atau 30% (peluang turun) dan 70% (peluang naik). “Tapi, intinya, peluang kenaikan reksadana saham pada Januari di bawah 80%,” ujarnya. Karena itu, Edbert menegaskan, kalau investor mengandalkan January Effect untuk mendapatkan return yang optimal pada reksadana saham, belum tentu berhasil. “Sebab, secara rata-rata ada produk reksadana yang naik dan ada yang turun,” papar Edbert. Dia memaparkan, pada Januari 2011, kinerja reksadana saham negatif. Diukur dari data 30 Desember 2010 hingga akhir Januari 2011, IHSG turun (-7,95%). Tapi, untuk rata-rata reksadana saham justru minus lebih besar, -9,33%. “Ini merupakan penurunan yang signifikan. Jadi, January Effect untuk reksadana saham belum tentu terjadi,” timpalnya. Untuk Januari 2012 pun, Edbert memperkirakan, punya kemungkinan seperti Januari 2011. Pasalnya, kecemasan pasar yang terjadi awal tahun lalu atas krisis Eropa, masih terbawa ke 2012. “Karena itu, jika mau masuk pada reksadana saham pada Januari harus betul-betul selektif,” ucap dia. Berbeda dengan Desember di mana investor tinggal tutup mata untuk memilih reksadana saham, karena sudah dipastikan naik. Sebab, semua produk reksadana saham bisa naik. Menurutnya, rata-rata kenaikan gain pada reksadana saham dalam 10 tahun terakhir sebesar 5% dengan terendah 2% dan tertinggi 8% pada Desember. Pada Desember 2011, saat IHSG tumbuh 2,88%, indeks 80 produk reksadana saham tumbuh 3,66% alias lebih tinggi dari indeks saham. “Jadi, secara historis, penguatan reksadana saham selalu terjadi saat momentum window dressing dibandingkan momentum January Effect,” tandas Edbert. Meski begitu, Edbert berpesan, investor tak perlu takut untuk investasi reksadana saham pada Januari. “Sebab, tetap ada reksadana saham yang potensial naik pada Januari. Tetap ada pilihan reksadana saham yang potensial positif,” imbuhnya. [mdr]

investasi lindung nilai

Rich managers, poor clients A devastating analysis of hedge-fund returns Jan 7th 2012 | from the print edition the economist HEDGE-fund managers are the smartest investors around. With keen eyes and sharp brains, they spot and exploit inefficiencies in the markets. Or at least that is what the industry tells its clients. ... hedge fund itu sebuah pengelolaan investasi yang sifatnya cerdas karena bertujuan memberikan imbal hasil lebe baek daripada bunga tabungan, deposito, atawa imbal hasil emas, namun disertai dengan tingkat keamanan dan kenyamanan berinvestasi yang tinggi ... well, faktanya SAMI MAWON dengan investasi portofolio laennya ... ada UPS dan ada DOWNS ... sulitnya, malah kerugian SESAAT bisa MENGHAPUS LABA yang terkumpul dalam jangka panjang ... :P There is no doubt that hedge-fund managers have been good at making money for themselves. Many of America’s recently minted billionaires grew rich from hedge clippings. But as a new book* by Simon Lack, who spent many years studying hedge funds at JPMorgan, points out, it is hard to think of any clients that have become rich by investing in hedge funds (whereas Warren Buffett has made millionaires of many of his original investors). Indeed, since 1998, the effective return to hedge-fund clients has only been 2.1% a year, half the return they could have achieved by investing in boring old Treasury bills. In this section How can that be, when traditional performance measures for the industry show average returns of 7% or so? The problem is a familiar one in fund management and is the equivalent of the “winner’s curse” that occurs with auctions (the successful bidder is doomed to overpay). Take a whole bunch of fund managers and give them an equal amount of money to invest. The managers that perform best initially will tend to attract more investors, and so will gradually become bigger than the moderate or poor performers (who will eventually go out of business). But the manager will not perform well indefinitely. By the time a bad year occurs, the manager will be running a much larger fund. In cash terms, the loss on the expanded fund may easily outweigh the gains made when the fund was smaller. The return of the average investor will be lower than the average return of the fund. What is true for individual funds also turns out to be true for the industry as a whole. Between 1998 and 2003 the average hedge fund earned positive returns every year, ranging from 5% in 2002 to 27% in 1999. Back then, however, the industry was quite small: overall assets only passed $200 billion in 2000. That strong performance attracted the attention of pension funds, charities and university endowments at a time when their portfolios had been clobbered by the bursting of the dotcom bubble. They duly piled into “alternative assets” like hedge funds and private equity. By early 2008 the hedge-fund industry had around $2 trillion under management. But that year turned out to be the annus horribilis for the hedge-fund sector. The average performance was a loss of 23%. In cash terms the loss for that single year was more than double the industry’s total assets under management in 2000, when it was still doing well. Mr Lack reckons that the industry may have lost enough money in 2008 to cancel out all the profits it made in the previous ten years. At this point, hedge-fund managers might cry foul. The losses suffered in 2008 make a huge impact on the way Mr Lack calculates his figures. If you use the same methodology on stockmarkets, hedge funds outperformed the S&P 500 between 2001 and the end of 2010. But private-equity managers are judged on a similar basis (the internal rate of return) to Mr Lack’s calculations. And his numbers probably flatter the hedge-fund industry. Indices of hedge-fund returns overstate the numbers because of factors such as “survivor bias” (poor performers stop reporting their numbers) and “backfill bias” (only successful newcomers start to report). These effects could add 3-5 percentage points a year to average returns. Many investors invest in the sector through funds of funds, which charge an additional layer of fees. Even if you allow for the rebound in markets (and hedge-fund returns) in 2009 and 2010, investors have still got the short end of the stick. They have yet to recover the losses suffered in 2008. But hedge-fund managers took home almost $100 billion in fees between 2008 and 2010 (and an aggregate haul of $379 billion between 1998 and 2010). Mr Lack’s book suggests the blind faith displayed by many institutional investors in hedge funds needs to be reconsidered. Individual managers may be brilliant but it is hard to spot them in advance. John Paulson was not particularly well-regarded before he made a fortune betting against subprime bonds—and his performance has slumped since. Investing in hedge funds will enable some lucky managers to enjoy an early retirement on their yachts. It will not enable pension funds to eliminate their deficits. * “The Hedge Fund Mirage: The Illusion of Big Money and Why It’s Too Good to Be True”, published by John Wiley & Sons, January 2012

Sabtu, 07 Januari 2012

Peringatan bwat PEMBACA blog ini

sila daftarkan alamat e-mail anda di link ini:klik untuk mendaftarkan alamat e-mail pada komentar posting gw atawa kirim e-mail ke alamat e-mail gw: ekonomitakserius@gmail.com
dengan demikian ANDA bisa mendapatkan password untuk membaca update blog2 gw, khususnya blog favorit anda ini :)
jika ANDA tidak mendaftarkan alamat e-mail anda, maka ANDA tidak bakal bisa membaca seluruh isi blog ini lage
maaf bwat anda yang tidak bisa lage membaca blog ini karena ANDA tidak bersedia mendaftarkan alamat e-mailnya

Jumat, 06 Januari 2012

TRIM berubaH ... 060112

... mulai tgl 8 Januari 2012, blog ini hanya bisa diakses bila alamat e-mail anda terdaftar di link ini : pendaftaran e-mail anda atau kirim e-mail ke alamat e-mail gw
FAJAR RACHMAN mundur dari Trimegah Asset Management Oleh Irvin Avriano A. Kamis, 05 Januari 2012 | 16:55 WIB
bisnis indonesia JAKARTA: Fajar Rachman Hidayat mengundurkan diri dari posisi direksi di PT Trimegah Asset Management. Hal itu tertuang di dalam pengumuman rencana pergantian prospektus 23 reksa dana manajer investasi itu di surat kabar hari ini, 5 Januari 2012. Data itu kemudian dibandingkan dengan posisi pejabat direksi-komisaris yang masih tercatat di situs resmi perusahaan dan Pusat Informasi Reksa Dana Bapepam-LK. Fajar merupakan pemimpin divisi manajer investasi di PT Trimegah Securities Tbk sebelum anggota bursa itu memisahkan (spin-off) divisi pengelolaan produknya menjadi Trimegah Asset Management pada awal tahun lalu. Posisi direktur yang ditinggalkan Fajar akan digantikan dengan Sjane Like Kaawoan, yang sebelumnya memiliki jabatan kepala operasional (chief operating officer/COO). Situs resmi Trimegah Aset Management menunjukkan Like pernah bekerja di PT HG Asia Indonesia (sekarang PT ABN AMRO Securities) 1989-1993, PT Schroders Indonesia 1993-1997, PT Finan Corpindo Nusa pada 1998 dan pernah menjabat sebagai Assistant Director PT Manulife Aset Manajemen Indonesia pada 2003 – 2005. Like juga pernah menjabat COO PT Manulife Aset Manajemen Indonesia pada 2006-–2010, tetapi situs itu sudah mencatat dirinya menjabat direktur sejak November 2011. Like akan menempati posisi direksi bersama dengan direktur utama yang dijabat Denny Rizal Thaher. Denny membenarkan Like sudah diangkat menjadi salah satu direksi pada November. "Fajar [pindah] kembali ke Trimegah Securities," ujarnya melalui pesan singkat sore ini. Komisaris Antoni Tris, seorang akuntan senior, tidak lagi menjabat komisaris lagi di perusahaan dan digantikan oleh Hendra Wijaya Harahap. Hendra akan menjadi komisaris bersama dengan pejabat lama yaitu Nicodemus Wahyudi Salasa. Pusat Informasi Reksa Dana Bapepam-LK menunjukkan Trimegah Asset Management mengelola dana senilai Rp2,42 triliun reksa dana per akhir tahun lalu. Dana kelolaan itu terlepas dari reksa dana penyertaan terbatas (RDPT/private equity fund) dan kontrak pengelolaan dana nasabah (PDN/discretionary fund) yang umumnya disebut kontrak pengelolaan dana (KPD). (ea)

Rabu, 04 Januari 2012

inves 1 jt @MIED per tgl 04 Januari (strategi JITU)

coba simak strategi penambahan modal yang dilakukan pada saat NAB NAEK atau NAB TURUN ... sederhana: jika NAEK, jumlah pembelian diturunkan, yaitu lebe rendah dibandingkan jika NAB TURUN ... sulitnya bwat kebanyakan investor (yang kebanyakan adalah para deposan) PASTI TIDAK MAU MENAMBAH MODAL SAMA SEKALI atau JUSTRU MENAMBAH MODAL LEBE BANYAK PADA SAAT NAB NAEK saja ... well, kalkulasi di 2 tabel menunjukkan bahwa semakin BESAR MODAL masuk pada saat NAB TURUN SEKALI justru lebe menguntungkan ... persoalannya adalah : 1. berapa besar modal yang mau diinves; 2. seberapa banyak frekuensi beli yang bisa dilakukan setiap bulannya ... jadi atur aja sendiri lah :) ... padahal itu lah strategi yang gw pake selama ini, yaitu BELI SAAT KRISIS, karena IMBAL HASILNYA TERBUKTI PALING TINGGI: cari untung saat KRISIS

inves 1 Juta skenario @Mandiri Investa Ekuitas Dinamis s/d 04 Januari 2012

reksa dana saham merugi TAPI POSITIF @2011 ... 040112

Kinerja Reksa Dana Saham Minus 0,25% Wednesday, 04 January 2012
JAKARTA – Kinerja rata-rata reksa dana saham dari sisi imbal hasil (return) sepanjang 2011 tercatat minus 0,25%. Kinerja ini jauh merosot dibanding periode yang sama 2010. “Kita juga bisa lihat dari IHSG yang memang berselisih jauh antara kedua periode tersebut,” ujar analis Riset PT Infovesta Utama Edbert Suryajaya kepada SINDOdi Jakarta kemarin. Dia menjelaskan, dengan kinerja rata-rata Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) periode 30 Desember 2009–30 Desember 2010 mencapai 46,13%, kinerja rata-rata reksa dana saham mencapai 29,25%, reksa dana campuran senilai 25,3% dan pendapatan tetap 13%. Sementara, untuk kinerja rata-rata IHSG periode 10 Desember 2010–30 Desember 2011 tercatat mengalami koreksi tajam, yakni hanya 3,2%. Adapun,kinerja reksa dana saham yang berhasil melampaui IHSG pada periode tersebut, di antaranya Panin Dana Maksima dengan return 9,7%, Millenium Equity dengan returnmencapai 10,02%,dan Makinta Mantap dengan return sebesar 23,93%. Edbert menjelaskan, terkoreksinya kinerja reksa dana saham sepanjang tahun lalu karena imbas dari berfluktuasinya gerak IHSG yang merupakan aset dasar utama dari jenis reksa dana saham. Seperti diketahui, pasar saham dalam beberapa bulan terakhir di tahun lalu sangat volatil sebagai akibat dari sentimen negatif yang datang dari Eropa, Amerika Serikat, dan China. Sementara,Ketua Asosiasi Pengelola Reksa Dana Indonesia (APRDI) Abiprayadi Riyanto berpendapat, kondisi ekonomi dan pasar modal Indonesia pada tahun ini positif meski masih akan dipengaruhi oleh kondisi global dari Eropa dan Amerika Serikat. jerna
Rabu, 04 Januari 2012 | 15:03 oleh Dyah Ayu Kusumaningtyas KINERJA REKSADANAInfovesta: Makinta Mantap torehkan imbal hasil terbesar di 2011 kontan
JAKARTA. Walaupun banyak kendala yang melanda pasar saham domestik maupun global, produk-produk reksadana saham masih mencatatkan performa positif sepanjang tahun lalu.
Data PT Infovesta Utama memperlihatkan, tren Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hanya naik 3,2% dalam setahun terakhir (30 Desember 2010 - 30 Desember 2011). Sedangkan di periode yang sama, rata-rata imbal hasil produk-produk reksadana hasil riset Infovesta yang tercermin pada Infovesta Equity Fund Index, naik sebesar 3,66%, atau masih lebih tinggi ketimbang kinerja IHSG.
Analis PT Infovesta Utama, Edbert Suryajaya menyebut, produk reksadana saham memang mengalami tekanan sepanjang 2011, dan hanya 20-an produk yang menoreh imbal hasil di atas IHSG, selama setahun. Namun, dengan adanya beberapa produk yang naik signifikan di atas IHSG, hal ini menunjukkan keberhasilan Manajer Investasi (MI) mengalahkan indeks. "IHSG sempat jatuh 20% selama Juli sampai Oktober," urainya, Selasa (3/1).
Di antara 84 produk reksadana saham yang diriset Infovesta, produk Makinta Mantap milik PT Makinta Securitiies menorehkan imbal hasil terbesar, yaitu 23,93% dalam periode setahun (yoy). Kemudian di peringkat kedua, ada produk Millenium equity besutan PT Millenium Danatama Indonesia yang menuai return 10,02%, diikuti produk Panin Dana Maksima yang diterbitkan PT Panin Asset Management dengan laba 9,7% di periode yang sama.
Adapun, reksadana saham yang merugi paling besar di sepanjang 2011, yaitu Mega Dana Ekuitas dengan imbal hasil minus 21,11%. Lalu, OSK Nusadana Alpha Sector Rotation dengan kerugian sebesar 18,7%.
Edbert yakin, performa reksadana saham akan terus membaik sepanjang tahun ini, mengingat akan banyaknya investor asing yang masuk ke pasar Indonesia karena terdorong jaminan investasi atau peringkat Investment Grade bagi Indonesia.
"Walaupun sepertinya masih akan banyak sentimen negatif yang menghadang pasar saham, diharapkan MI mampu menangatasinya dengan strategi investasi yang optimal sehingga bisa kembali menjinakkan volatilitas pasar," imbuhnya. Edbert pun memprediksi akan ada banyak produk baru reksadana saham di 2012 ini.
... well, ternyata ada juga yang ngaco beritanya soal kinerja reksa dana saham Indonesia secara umum pada 2011, coba neh baca sendiri : naek kok tapi disebut penurunan ...

Selasa, 03 Januari 2012

cra$h itu opportunity cost ... 0301112

Belajar dari Market Crash 2008 Oleh Wawan Hendrayana | Senin, 2 Januari 2012 | 10:25 investor daily Semua investor berharap 2012 adalah tahun yang baik dan menggairahkan bagi industri pasar modal, setelah tahun 2011 dilewati dengan kurang menggembirakan. Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada 2011 hanya tumbuh 3,2%. Sejumlah analis memprediksikan 2012 ini adalah tahun yang baik bagi pasar modal. Ini didasarkan pada sejumlah faktor fundamental pada ekonomi Indonesia, antara lain, pertumbuhan ekonomi yang positif, rasio utang yang terus menurun, inflasi yang terkendali, dan juga kembalinya rating negara kita ke negara layak investasi atau investment grade. Namun, sebagian analis lainnya tampaknya masih sulit menebak arah IHSG pada tahun ini jika berkaca pada kondisi dunia yang masih dibayangi krisis utang di Eropa, perlambatan ekonomi global, dan isu overheat di Tiongkok. Dalam dunia pasar modal sendiri, siklus bearish dan bullish memang selalu berulang, sehingga timbul istilah history repeat itself, sejarah selalu berulang. Oleh karena itu, tidak ada salahnya apabila investor selalu bersiap-siap, termasuk melihat kemungkinan terburuk. Sejarah Selalu Berulang Salah satu langkah bijak yang perlu dilakukan investor adalah belajar dari kejadian sebelumnya tentang apa yang terjadi dan posisi apa yang sebaiknya diambil untuk meminimalisasi dampak penurunan atau bahkan perolehan keuntungan.
Dalam hal ini, kita bisa memetik pelajaran berharga dari kejadian market crash pada 2008, salah satu crash terburuk yang terjadi 10 tahun terakhir dan melihat apa yang terjadi pada saham- saham di Indonesia. Pengamatan difokuskan pada 45 saham yang tergabung dalam indeks LQ45 per Agustus 2008 sebelum market crash. Pemilihan LQ45 diambil karena ini merupakan 45 saham paling likuid pada saat tersebut, sehingga dapat mencerminkan pergerakan pasar (IHSG).
Sepanjang tahun 2008, IHSG mengalami crash hingga titik terendah sebesar -59% dibanding awal tahun. Kejatuhan terjadi lebih dalam dialami oleh sektor pertanian (77%), sektor pertambangan (-76,4%) dan sector aneka industri (-63%). Sedangkan sector yang jatuhnya paling “kecil” adalah konsumsi (-36%), keuangan (-52%), dan infrastruktur (-57%).
Crash 2008 memang menarik untuk dijadikan acuan. Pada pengamatan kali ini kita asumsikan investor mengalami “kesialan” dengan membeli setiap saham LQ45 pada harga tertingginya di tahun 2008. Setelah terjadi Black October di mana IHSG jatuh 31% dalam satu bulan akibat terjungkalnya harga saham secara keseluruhan, berapa lama investor dapat kembali ke modal awalnya?
Dari 45 saham yang tergabung di indeks LQ45 ternyata hingga kini yang sudah kembali ke harga tertinggi pada 2008 hanya ada 19 saham (atau 42%). Dari 19 yang kembali ke harga tertingginya rata-rata membutuhkan 653 hari kalender. Hasil yang cukup mengejutkan karena ternyata probabilitas untuk kembali ke harga tertinggi setelah mengalami crash di bawah 50% bahkan setelah 3 tahun. Lalu, apakah kapitalisasi pasar berpengaruh terhadap probalilitas harga saham untuk kembali ke harga tertingginya?
Untuk menjawab pertanyaan ini maka pengamatan dilanjutkan dengan membagi 45 saham LQ45 berdasarkan kapitalisasinya ke dalam tiga bagian. Sebanyak 15 saham dengan kapitalisasi terbesar digolongkan sebagai saham besar, lalu 15 saham berikutnya sebagai saham menengah, dan 15 saham sisanya dengan kapitalisasi terkecil sebagai saham kecil.
Untuk golongan saham kapitalisasi besar ternyata hanya 7 dari 15 saham (46,7%) yang kembali ke harga tertingginya dengan rata-rata membutuhkan 544 hari kalender, untuk golongan menengah juga menghasilkan statistik yang sama (7 dari 15) dengan rata-rata membutuhkan 616 hari kalender dan untuk golongan kecil hanya 5 dari 15 (33.3%) yang kembali ke harga tertinggi di tahun 2008 dengan rata-rata membutuhkan 653 hari.
Dari hasil pengamatan sederhana tersebut di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa investor harus berhati-hati ketika membeli saham dalam tren bullish karena bila crash terjadi ternyata saham dengan kapitalisasi besar sekalipun bukanlah jaminan harganya akan kembali naik. Namun demikian saham dengan kapitalisasi besar memiliki potensi kembali lebih cepat daripada saham berkapitalisasi menengah ataupun kecil walaupun tetap dengan probabilitas masih di bawah 50%.
Lalu bagaimana bila sahamnya dipegang hingga saat ini? Bila dirata-ratakan, return investor yang membeli masing-masing harga saham LQ45 pada harga tertingginya pada 2008 hingga 30 Desember 2011 adalah 3,96% dalam 1408 hari. Namun, angka ini pun tertolong oleh saham CPIN yang memiliki return 815% dalam periode tersebut hal ini dapat dianggap sebagai outlier karena saham tertinggi berikutnya adalah ASII sebesar 150%. Bila CPIN tidak disertakan maka rata-rata saham LQ45 menjadi -14,7%. Fenomena yang harus siap dihadapi oleh investor saham. Hadapi Hal-hal Terburuk Berdasarkan kenyataan terebut investor memang harus lebih cermat saat membeli saham yang mencatat rekor harga tertinggi. Pasalnya, bila terjadi crash akan sulit bagi investor untuk menutup kerugian yang dialaminya. Untuk menutup kerugian tersebut dibutuhkan waktu yang relatif lama (hingga minimal 1,5 tahun) dan dengan probabilitas di bawah 50%. Jadi, memilih saham menjadi sangat penting karena dengan saham yang salah uang investor bisa tidak kembali walaupun sudah dipegang selama empat tahun. Hasil pengamatan ini dapat berubah bila periode pengamatan diubah. Sebagai investor kita tentu berharap saham akan naik dalam jangka panjang. Namun, karena pergerakan saham sangat dinamis dan saling terkaitnya di pasar global, banyak kejadian yang tidak diprediksikan sebelumnya malah dapat terjadi. Karena itu, investor sebaiknya mempersiapkan hal-hal terburuk dengan menerapkan manajemen risiko. Salah satunya adalah dengan memiliki cutloss poin, misalnya 8-10%, dan menerapkanya dengan disiplin untuk menghindari dananya terjebak dalam waktu lama di suatu saham. Penulis adalah research & investment analyst Infovesta www.infovesta.com

Senin, 02 Januari 2012

kumpulan video: daerah wisata (2)

air terjun ini juga dekat Jakarta
di belakang perumahan Sentul City
well, namanya sesuai dengan nama desanya
curug Bojong Koneng aka CIKONENG

kumpulan video : daerah wisata (1)

jelas ini sebuah video air terjun
jelas ini berada di sebuah wilayah Indonesia
bwat yang pernah berajangsana ke air terjun ini, tentu akan langsung ingat namanya
ya benar
curug ciismun
di dalam kawasan kebun raya Cibodas, taman nasional Gn Gde Pangrango

tren NAB RD macam2 sejak 2005/2009

BERDARAH-darah itu AWALNYA bwat gw dan WB mungkin krisis bukan lah sebuah KIAMAT, tetapi lebe sebagai KRAMAT ... karena itu lah saat keramat untuk MERAUP LABA paling tinggi dalam suatu periode jangka pendek, menengah dan panjang well, coba liat aja neh:

RD syariah SEDIKIT seh ... 020112

Reksa dana syariah, mengapa tak laku?


Otoritas pasar modal pada Mei 2011 menerbitkan Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI). Pengelompokan saham yang dikategorikan ‘halal’ ini bertujuan menarik minat investasi masyarakat ke industri pasar modal.

Sebagai negara yang berpenduduk muslim terbesar, membangun industri keuangan yang berbasis syariah diproyeksikan menjadi pasar yang kuat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, termasuk menambah portofolio investasi pasar modal.

Ketua Asosiasi Pengelola Reksa Dana Indonesia (APRDI) Abiprayadi Riyanto mengatakan industri reksa dana syariah cukup prospektif, tetapi minimnya instrumen investasi dengan sistem syariah belum cukup membantu pertumbuhan produk ini.

“Kendala utama di industri [reksa dana] syariah dari dulu ya masalah instrumen investasi. Kami cukup sulit untuk mengelola, karena pilihan instrumennya sedikit, baik itu terkait saham maupun sukuk. Pilihannya relatif itu-itu saja,” katanya.

Dia berharap jumlah instrumen investasi syariah dapat bertambah, sehingga memberi ruang yang cukup bagi perusahaan pengelola reksa dana untuk mengembangkan produknya.

Dilihat dari nilai aktiva bersih (NAB) reksa dana syariah sepanjang Januari-September tahun ini tercatat Rp3,55 triliun. Nilai ini lebih rendah 5,67% dibandingkan dengan posisi akhir 2010 sebesar Rp3,76 triliun.

Kinerja positif masih ditunjukan reksa dana saham dan pasar uang hingga September tahun ini. Nilai aktiva bersih reksa dana saham tercatat yang paling tinggi mencapai Rp55,46 triliun. Jumlah ini tumbuh 21,44% dibandingkan dengan 2010 sebesar Rp45,67 triliun.

Adapun reksa dana pasar uang mencatat nilai aktiva bersih sebesar Rp8,01 triliun hingga September tahun ini. Pertumbuhan dana kelolaan ini 3,78% lebih tinggi dibandingkan dengan akhir tahun lalu.

Selain reksa dana syariah, koreksi terlihat pada produk reksa dana campuran, pendapatan tetap, dan terproteksi. Namun, penurunan ini bukan berarti investasi produk reksa dana tak menarik lagi.

Strategi investasi
Dalam seminar strategi investasi reksa dana pekan lalu, Senior Research & Investment Analyst PT Infovesta Utama Rudiyanto menyampaikan pandangan mengenai strategi investasi reksa dana agar tetap meraih untung di tengah kondisi pasar yang menjepit.

Menurut dia pasar modal pada dasarnya memiliki fenomena berulang, sehingga investor harus jeli mencermati dan memaksimalkan potensi investasinya. “Ada beberapa pola yang dikenal dalam pasar modal seperti window dressing, January effect, dan earning season,” jelasnya.

Dalam 10 tahun terakhir, lanjutnya, pola window dressing selalu membukukan return positif menjelang akhir tahun.

Dari analisanya, investasi yang dilakukan dalam tempo dua bulan terakhir atau periode akhir Oktober hingga Desember, memiliki rata-rata keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan investasi di akhir tahun saja.

Dalam mencermati fenomena pasar ini, investor harus cermat karena saat indeks harga saham gabungan (IHSG) naik, belum tentu return reksa dana saham atau campuran yang berbasis saham pasti akan naik juga. “Karena ada sektor saham yang underperform dibandingkan IHSG,” tuturnya.

Prinsip lain untuk meraih profit investasi reksa dana, menurut Rudiyanto yakni melakukan diversifikasi portofolio. Pada dasarnya, diversifikasi dilakukan dengan cara menanamkan investasi ke lebih dari satu produk reksa dana. “Ketika instrumen yang satu mengalami penurunan, instrumen lain mengalami kenaikan. Ini idealnya yang diharapkan lewat diversifikasi reksa dana,” tambahnya.

Meski demikian, diversifikasi lebih efektif ketika terjadi gejolak pada pasar dimana penurunan yang dialami lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata instrumen sejenis pada umumnya.

Rudiyanto memberi catatan dalam kondisi pasar yang fluktuatif, jenis reksa dana campuran dan pendapatan tetap bisa menjadi pilihan bagi investor.

Keberhasilan investasi ditentukan oleh kemampuan dan kedisiplinan dalam melakukan strategi investasi, termasuk memilih instrumen reksa dana yang menjadi pilihan serta iklim investasi yang mendukung. (arief.setiaji@bisnis.co.id)

Minggu, 01 Januari 2012

KINERJA schroder DANA istimewa MELAMPAUI 2 KRI$1$

2011 tahun rekonsolidasi REKSA DANA SAHAM

NAB total reksa dana INDONE$1A @201 T

NAB reksa dana naik 17,9% jadi Rp201,53 triliun Oleh Irvin Avriano A. Jum'at, 30 Desember 2011 | 15:13 WIB bisnis indonesia JAKARTA: Nilai aktiva bersih (NAB) reksa dana meningkat 17,9% menjadi Rp201,53 triliun sejak akhir tahun lalu hingga 28 Desember. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuagan (Bapepam-LK) dalam rilis akhir tahunnya mencatat kenaikan terjadi dari posisi akhir tahun lalu Rp170,92 triliun. Unit penyertaan reksa dana juga meningkat 20,3% menjadi 98,15 miliar unit pada 28 Desember dari jumlah pada akhir tahun lalu sebanyak 81,59 miliar. Reksa dana baru Peningkatan NAB dan unit penyertaan disertai penerbitan izin bagi 141 reksa dana dan pencatatan 4 reksa dana penyertaan terbatas (RDPT/private equity fund). Dari 141 reksa dana baru itu, sebanyak 50 reksa dana merupakan reksa dana konvensional dan 91 reksa dana terproteksi. Meskipun ada penambahan jumlah reksa dana, otoritas pasar modal juga membubarkan 110 reksa dana baru. Jumlah reksa dana beredar yang dicatatkan Bapepam-LK mencapai 765 reksa dana, yang terdiri dari 673 reksa dana ditambah 92 RDPT. Aperd Bapepam-LK juga mencatat adanya pengembalian empat izin agen penjual efek reksa dana (Aperd) dan pengajuan tiga izin APERD baru. Izin Aperd yang dicabut tadinya dimiliki PT Bank Mayapada International Tbk, PT Bank Victoria International Tbk, PT Bank Bumiputera Indonesia Tbk, dan PT Bank Bukopin Tbk. Bank yang baru mengajukan izin Aperd adalah PT Bank Chinatrust, PT Bank Windu, dan PT Bank Rabobank. (ln)