THE big theme of the market this year, as already mentioned in this blog, has been the "great rotation" out of equities and into bonds. The idea is that a combination of renewed investor confidence and the dismal yields on government debt will drive investors into the stockmarket. In turn, this will prompt a further rally in share prices.
The idea of a "wall of money" that will push a given market higher (if walls can push) has been around for a long time - I can remember, as a young reporter on the FT, quoting breathless strategists about the Japanese wall of money that would drive up European share prices in the late 1980s. Gold bugs still hope that emerging market central banks will bolster the bullion price, and indeed the Russians have been buying.
Plenty of banks and brokers pay great attention to cross-border money flows rather like Roman augurs sorting through chicken entrails for indications of the future. But a note from Jeffrey Rosenberg at BlackRock points out that the causation goes the other way
We ran a Granger causality test on 5 years of monthly stock and bond data. The data clearly indicate that past returns help to predict future flows; past flows show no similar predicted power on future returns
In other words, flows follow returns, not the other way round. People hear that the stockmarket is doing well, think "I'd like a piece of that" and pile in. it is part of the odd nature of asset markets that a rise in price causes an increse in demand, not a fall. Conversely, a very sharp fall in an asset price can put investors off for a considerable period.  As Mr Rosenberg points out, since 2008 equity mutual funds have seen a net $460 billion of outflows since 2008; that hasn't stopped the stockmarket from rallying strongly from its spring 2009 low.
Indeed, he adds that there was no great rotation from bonds into equities in Janaury; both sectors recorded net inflows ($13 billion for the former and $45 billion for the latter). There was a rotation out of cash; money market funds saw net outflows of $21 billion and commercial bank deposits by $141 billion.
Certainly, it looks as if equities are attractively valued relative to bonds at the moment, but that just means the former asset seems likely to produce superior returns; that statement is compatible with the stockmarket remaining flat and bonds losing 10%.
Predicting flows is quite a different calculation. Leaving aside QE for the moment, government still have lots of bonds to issue; corporations prefer to issue debt (with tax-deductible interest) to equity. All that debt has to be bought by someone. As the population ages and pension funds mature, there will be a ready market for income-yielding assets (look at Japan); regulations may also force insurance companies and banks (for collateral purposes) to hold lots of government debt.
From time to time, newspapers will write articles about the death of the "cult of the equity". Those articles are not meant to imply that equities will never have bull runs again; of course they will. Instead, the implication is that the days are gone when investors could stick the bulk of their money in equities and rely on the risk premium to deliver superior returns.

Pasar Grogi di Level Ketinggian
inilah.com/Wirasatria
Oleh: Ahmad Munjin
pasarmodal - Jumat, 15 Februari 2013 | 18:57 WIB

INILAH.COM, Jakarta – IHSG masih mencatatkan rekor tertinggi sehingga membuat pelaku pasar grogi di level ketinggian. Tapi, rupiah sebaliknya seiring nada hawkish dari The Fed. Seperti apa?
Analis senior Monex Investindo Futures Zulfirman Basir mengatakan, pelemahan rupiah akhir pekan ini setelah dolar AS menguat. Salah satunya dipicu oleh komentar hawkish (promoneter ketat) dari salah satu petinggi The Fed James Bullard. Bullard mengkhawatirkan besarnya stimulus moneter yang telah diberikan oleh The Federal Reserve (The Fed) dan khawatir terhadap dampak yang ditimbulkan ketika The Fed menarik kembali stimulus tersebut.
Pada saat yang sama, dolar AS mendapat dukungan dari klaim pengangguran AS yang cukup positif sehingga memperkuat semakin kontrasnya ekonomi zona euro dengan AS. "Karena itu, sepanjang perdagangan, rupiah mencapai level terlemahnya 9.685 dengan level terkuat 9.655 dari posisi pembukaan 9.665 per dolar AS,” katanya kepada INILAH.COM, di Jakarta, Jumat (15/2/2013).
Kurs rupiah terhadap dolar AS di pasar spot valas antar bank Jakarta, Jumat (15/2/2013) ditutup melemah 15 poin (0,15%) ke angka 9.670/9.680 dari posisi kemarin 9.655/9.665.
Klaim pengangguran AS dirilis berkurang jadi 341 ribu dari prediksi 361 ribu dan publikasi sebelumnya 368 ribu.
Di sisi lain, lanjut Firman, salah satu petinggi Bank of England (BoE) Ben Broadbent jusrtu berkomentar sebaliknya alias dovish (promenter longgar). Broadbent menyatakan dukungannya terhadap pemberian stimulus lebih lanjut dari bank sentral Inggris. "Meskipun, dia tidak begitu yakin kebijakan tambahan stimulus dapat membantu pemulihan ekonomi secara signifikan," tutur Firman.
Pasalnya, BoE memang sudah mengucurkan banyak stimulus. Selain program pembelian obligasi, sudah ada fasilitas pendanaan murah untuk kredit usaha. "Tapi, stimulus ini tidak banyak membantu perekonomian terutama dengan pemerintah Inggris yang cukup gencar dengan pemangkasan anggarannya," timpal dia.
Selebihnya, pelemahan rupiah masih dipicu oleh memburuknya sentimen eksternal. Terutama setelah rilis data Produk Domestik Bruto (PDB) Zona Euro yang membuat pasar khawatir dengan perlambatan ekonomi global.
PDB zona euro untuk kuartal IV-2012 dirilis semakin dalam resesinya di level -0,6% dari prediksi -0,4% dan kuartal sebelumnya -0,1%.
Alhasil, dolar AS menguat terhadap mayoritas mata uang utama termasuk terhadap euro (mata uang gabungan negara-negara Eropa). Indeks dolar AS menguat ke 80,44 dari sebelumnya 80,36. "Terhadap euro, dolar AS ditransaksikan menguat ke US$1,3325 dari sebelumnya US$1,3359 per euro," imbuh Firman.
Dari bursa saham, pengamat pasar modal Irwan Ariston Napitupulu mengatakan, dari sisi grafiknya, tren IHSG saat ini masih bullish. “Pelaku pasar tinggal mengikuti arusnya hingga level berapa,” kata Irwan.
Pada perdagangan Jumat (15/2/2013) Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG ) ditutup menguat 22,876 poin (0,50%) ke angka 4.611,549. Intraday terendah 4.588,236 dan tertinggi 4.616,001 sekaligus rekor tertinggi sepanjang sejarah Bursa Efek Indonesia (BEI). Rekor tertinggi sebelumnya di level 4.601,952 yang terbentuk pada Kamis (14/2/2013).
Dalam situasi bullish, Irwan menyarankan para trader untuk tidak melawan pasar dengan aksi ambil untung (profit taking). “Sebab, kita akan selalu menemukan harga yang lebih tinggi lagi, lalu lebih tinggi lagi,” ujarnya.
Memang biasanya, kata dia, pada level tertinggi baru, IHSG mengundang orang untuk merealisasikan keuntungan. Sebab, pelaku pasar takut pada level ketinggian. “Ini merupakan penyakit wajar yang terjadi pada trader jangka pendek,” ucapnya.
Menurut Irwan, mereka grogi saat mendapat untung tapi jika rugi justru mereka tidak grogi. Trader jangka pendek pada umumnya, setelah untung 7-10% merasa grogi sehingga tergoda untuk profit taking karena takut hilang keuntungannya. “Tapi, saat rugi hingga 30% justru mereka tahan dan baru grogi jika rugi hingga 50% dari saham yang dibelinya,” imbuh Irwan.
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

IHSG Melejit, Reksa Dana Saham Diprediksi Kinclong Tahun Ini

Dewi Rachmat Kusuma - detikfinance
Senin, 04/03/2013 15:35 WIB
Jakarta - Reksa dana saham dinilai memiliki peluang investasi yang bagus di tahun ini. Hal itu terkait dengan kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang terus mencatatkan kenaikan hingga 13% sampai Februari 2013 ini.

Untuk reksa dana saham produk BNP Solaris saja tahun lalu mencatat return mencapai 22,08% jauh lebih tinggi dari deposito yang hanya 6% per tahun.

"Reksa dana saham lumayan positif. Indeks sudah naik 13% sekarang, ini berpengaruh juga ke reksa dana saham," kata Presiden Direktur PT BNP Paribas Vivian Secakusuma, saat ditemui di kantornya, di Mayapada Tower, Jakarta, Senin (4/3/13).

Dia menyebutkan, di 2012 saja IHSG sudah mencatatkan kenaikan hingga 12,4%, sementara kinerja reksa dana tercatat 11%. "Target bisa mengalahkan tolak ukur, bisa mengalahkan IHSG," ujarnya.

Menurutnya, pasar saham di Indonesia masih memiliki potensi naik lebih dari yang ada saat ini. "Walaupun kita harus waspada karena volatilitas akan cukup tinggi. Kita masih concern di Amerika dan Eropa. Ini menjadi pertimbangan investor," kata dia.



(ang/ang)