Beri Kesempatan pada Jokowi
Jumat, 20 Maret 2015 | 10:21
Lima bulan pemerintahan Presiden Joko Widodo diwarnai
dengan kegaduhan politik dan ekonomi. Jokowi tak dapat langsung berlari
kencang membangun negeri alias tancap gas, seusai dilantik. Diakui atau
tidak, ada beban politis yang disandangnya. Rencana tol laut,
pembangunan waduk, pembuatan pembangkit listrik maupun infrastruktur,
terkubur oleh ingar-bingar isu politik seperti koalisi parpol yang
bersaing mendapatkan kekuasaan di DPR, isu pemakzulan presiden, hingga
kisruh KPK-Polri.
Sebuah survei awal Maret ini menyebutkan, persepsi positif publik di media sosial terhadap figur Presiden Jokowi menurun. Survei ini tidak mewakili persepsi keseluruhan rakyat Indonesia yang begitu heterogen. Survei hanya mengakomodasi generasi kelas menengah pengguna media sosial. Namun demikian, fenomena ini perlu dicermati mengingat kelompok yang lekat dengan media sosial ini berkontribusi secara signifikan dalam mendukung Jokowi sebagai presiden.
Menurunnya persepsi positif Jokowi beriringan dengan sikap kritis para relawan pendukung Jokowi yang dalam beberapa kesempatan memberikan peringatan kepada presiden pilihan mereka. Ada sikap-sikap dan kebijakan Jokowi yang menurut sebagian kalangan, perlu dikoreksi.
Kita tidak memandang pergulatan politik lima bulan pemerintahan Jokowi sebagai sebuah kegagalan total. Pertama, karena masa awal pemerintahan ini adalah masa di mana kabinet Jokowi membangun fondasi pemerintahan dengan pendekatan visi-misi yang dimunculkan.
Kedua, menteri-menteri masih melakukan konsolidasi internal. Apalagi ketika muncul kementerian baru di mana perlu waktu untuk dapat menyusun struktur baru dan kemudian menjalankannya.
Ketiga, persoalan yang mengemuka bukan merupakan sebab-akibat langsung dari kebijakan Jokowi. Persaingan di DPR antara koalisi partai pendukung Jokowi yang bernaung dalam Koalisi Indonesia Hebat melawan Koalisi Merah Putih, adalah imbas Pilpres 2014. Sedangkan kisruh KPK-Polri, bila dicermati, sejatinya sudah tersemai bibit-bibit konflik sebelumnya. Edisi "Cecak-Buaya" di mana Kabareskrim Mabes Polri saat itu dijabat Komjen Pol Susno Duadji adalah awal “perang terbuka” KPK-Polri.
Lalu, kasus korupsi di Korlantas Mabes Polri yang diungkap KPK dianggap publik sebagai edisi lanjutan perseteruan KPK-Polri. Ketika muncul pemantik, calon kapolri pilihan Jokowi dinyatakan tersangka oleh KPK, perselisihan antarlembaga penegak hukum ini muncul kembali.
Pada kenyataannya, popularitas Jokowi turun. Situasi seperti ini tidak boleh dibiarkan bila pemerintah tidak ingin kepercayaan masyarakat maupun pelaku bisnis terus merosot. Ada beberapa bagian yang perlu diperbaiki agar kinerja pemerintah benar-benar seperti yang diharapkan rakyat dan sesuai janji kampanye Jokowi. Kacamata untuk menilai kinerja pemerintah adalah dengan membandingkan apa yang dicita-citakan Jokowi-JK dengan kebijakan nyata dan tren kinerja pemerintah saat ini. Sekurangnya ada empat bidang untuk mengukur pelaksanaan Nawa Cita.
Pertama, apakah negara hadir di bidang keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas), penegakan hukum, ekonomi, kesehatan dan pendidikan? Pada bidang kamtibmas, pemerintah telah berhasil menghadirkan negara untuk melindungi bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara. Rakyat tidak merasakan terintimidasi oleh kekuatan tertentu, sehingga tidak merasa aman di negeri sendiri. Relatif tidak ada gangguan kriminal menonjol, apalagi aksi terorisme.
Pada bidang ekonomi, belum terasa kehadiran negara berkaitan dengan kondisi harga dan ketersediaan bahan pokok. Di bidang moneter, pemerintah sedang berupaya menjaga nilai tukar rupiah dari keterpurukan. Sedangkan pembangunan infrastruktur apalagi berkaitan dengan cita-cita terciptanya kedaulatan pangan dan energi belum tampak pada lima bulan ini.
Bidang penegakan hukum adalah rapor terjelek pemerintah. Persoalan KPK-Polri dan kesan adanya amputasi terhadap KPK cukup melukai setiap insan negeri yang bermimpi Indonesia bebas dari korupsi. Bagaimana proses KPK menetapkan tersangka, praperadilan yang menggugurkan penetapan tersangka, lalu Polri yang tiba-tiba begitu rajin mengusut laporan karena sang terlapor adalah personel KPK, memberikan kesan bahwa penegakan hukum bisa menjadi permainan.
Kedua, benarkah pemerintah sudah mewujudkan "menolak negara lemah"? Publik telanjur mengecap bahwa tak semua pembantu presiden adalah orang-orang terpilih yang benar-benar bersih, termasuk ketika seorang calon kapolri ditetapkan sebagai tersangka gratifikasi.
Salah satu item Nawa Cita adalah menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. Namun, belakangan munculnya wacana dari Kemkumham akan adanya remisi para koruptor. Ide ini tentu mencederai semangat Nawa Cita.
Di bidang lain lembaga kepresidenan dianggap lemah. Ketiadaan juru bicara kepresidenan membuat beberapa kali presiden maupun menteri blunder. Rapat-rapat di Istana hasilnya tidak diungkap secara jelas kepada publik. Berkaitan dengan soal kewenangan staf kepresidenan dan pemilihan anggota Dewan Pertimbangan Presiden juga menjadi penilaian kurang dari pemerintahan saat ini.
Di sisi lain, negara cukup kuat dalam hal diplomasi luar negeri. Pada kasus hukuman mati Indonesia tidak terpengaruh opini maupun tekanan negara lain. Hal ini membuktikan kedaulatan pemerintah, mengingat pemerintah juga tidak mencampuri kebijakan dalam negeri negara lain.
Ketiga, apakah sudah terlihat pemerintah mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi dan domestik?
Keempat, adalah sejauh mana revolusi mental telah terjadi dan diterapkan di birokrasi pemerintahan? Apakah masih sekadar semboyan kosong atau mulai dirintis?
Parameter tadi menempatkan pemerintahan Jokowi pada posisi masih belum sesuai harapan publik yang telanjur terbuai janji kampanye. Namun, bukan berarti rapor lima bulan ini sebuah kegagalan. Semoga pemerintah terlecut oleh penilaian rakyat.
Sebuah survei awal Maret ini menyebutkan, persepsi positif publik di media sosial terhadap figur Presiden Jokowi menurun. Survei ini tidak mewakili persepsi keseluruhan rakyat Indonesia yang begitu heterogen. Survei hanya mengakomodasi generasi kelas menengah pengguna media sosial. Namun demikian, fenomena ini perlu dicermati mengingat kelompok yang lekat dengan media sosial ini berkontribusi secara signifikan dalam mendukung Jokowi sebagai presiden.
Menurunnya persepsi positif Jokowi beriringan dengan sikap kritis para relawan pendukung Jokowi yang dalam beberapa kesempatan memberikan peringatan kepada presiden pilihan mereka. Ada sikap-sikap dan kebijakan Jokowi yang menurut sebagian kalangan, perlu dikoreksi.
Kita tidak memandang pergulatan politik lima bulan pemerintahan Jokowi sebagai sebuah kegagalan total. Pertama, karena masa awal pemerintahan ini adalah masa di mana kabinet Jokowi membangun fondasi pemerintahan dengan pendekatan visi-misi yang dimunculkan.
Kedua, menteri-menteri masih melakukan konsolidasi internal. Apalagi ketika muncul kementerian baru di mana perlu waktu untuk dapat menyusun struktur baru dan kemudian menjalankannya.
Ketiga, persoalan yang mengemuka bukan merupakan sebab-akibat langsung dari kebijakan Jokowi. Persaingan di DPR antara koalisi partai pendukung Jokowi yang bernaung dalam Koalisi Indonesia Hebat melawan Koalisi Merah Putih, adalah imbas Pilpres 2014. Sedangkan kisruh KPK-Polri, bila dicermati, sejatinya sudah tersemai bibit-bibit konflik sebelumnya. Edisi "Cecak-Buaya" di mana Kabareskrim Mabes Polri saat itu dijabat Komjen Pol Susno Duadji adalah awal “perang terbuka” KPK-Polri.
Lalu, kasus korupsi di Korlantas Mabes Polri yang diungkap KPK dianggap publik sebagai edisi lanjutan perseteruan KPK-Polri. Ketika muncul pemantik, calon kapolri pilihan Jokowi dinyatakan tersangka oleh KPK, perselisihan antarlembaga penegak hukum ini muncul kembali.
Pada kenyataannya, popularitas Jokowi turun. Situasi seperti ini tidak boleh dibiarkan bila pemerintah tidak ingin kepercayaan masyarakat maupun pelaku bisnis terus merosot. Ada beberapa bagian yang perlu diperbaiki agar kinerja pemerintah benar-benar seperti yang diharapkan rakyat dan sesuai janji kampanye Jokowi. Kacamata untuk menilai kinerja pemerintah adalah dengan membandingkan apa yang dicita-citakan Jokowi-JK dengan kebijakan nyata dan tren kinerja pemerintah saat ini. Sekurangnya ada empat bidang untuk mengukur pelaksanaan Nawa Cita.
Pertama, apakah negara hadir di bidang keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas), penegakan hukum, ekonomi, kesehatan dan pendidikan? Pada bidang kamtibmas, pemerintah telah berhasil menghadirkan negara untuk melindungi bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara. Rakyat tidak merasakan terintimidasi oleh kekuatan tertentu, sehingga tidak merasa aman di negeri sendiri. Relatif tidak ada gangguan kriminal menonjol, apalagi aksi terorisme.
Pada bidang ekonomi, belum terasa kehadiran negara berkaitan dengan kondisi harga dan ketersediaan bahan pokok. Di bidang moneter, pemerintah sedang berupaya menjaga nilai tukar rupiah dari keterpurukan. Sedangkan pembangunan infrastruktur apalagi berkaitan dengan cita-cita terciptanya kedaulatan pangan dan energi belum tampak pada lima bulan ini.
Bidang penegakan hukum adalah rapor terjelek pemerintah. Persoalan KPK-Polri dan kesan adanya amputasi terhadap KPK cukup melukai setiap insan negeri yang bermimpi Indonesia bebas dari korupsi. Bagaimana proses KPK menetapkan tersangka, praperadilan yang menggugurkan penetapan tersangka, lalu Polri yang tiba-tiba begitu rajin mengusut laporan karena sang terlapor adalah personel KPK, memberikan kesan bahwa penegakan hukum bisa menjadi permainan.
Kedua, benarkah pemerintah sudah mewujudkan "menolak negara lemah"? Publik telanjur mengecap bahwa tak semua pembantu presiden adalah orang-orang terpilih yang benar-benar bersih, termasuk ketika seorang calon kapolri ditetapkan sebagai tersangka gratifikasi.
Salah satu item Nawa Cita adalah menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. Namun, belakangan munculnya wacana dari Kemkumham akan adanya remisi para koruptor. Ide ini tentu mencederai semangat Nawa Cita.
Di bidang lain lembaga kepresidenan dianggap lemah. Ketiadaan juru bicara kepresidenan membuat beberapa kali presiden maupun menteri blunder. Rapat-rapat di Istana hasilnya tidak diungkap secara jelas kepada publik. Berkaitan dengan soal kewenangan staf kepresidenan dan pemilihan anggota Dewan Pertimbangan Presiden juga menjadi penilaian kurang dari pemerintahan saat ini.
Di sisi lain, negara cukup kuat dalam hal diplomasi luar negeri. Pada kasus hukuman mati Indonesia tidak terpengaruh opini maupun tekanan negara lain. Hal ini membuktikan kedaulatan pemerintah, mengingat pemerintah juga tidak mencampuri kebijakan dalam negeri negara lain.
Ketiga, apakah sudah terlihat pemerintah mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi dan domestik?
Keempat, adalah sejauh mana revolusi mental telah terjadi dan diterapkan di birokrasi pemerintahan? Apakah masih sekadar semboyan kosong atau mulai dirintis?
Parameter tadi menempatkan pemerintahan Jokowi pada posisi masih belum sesuai harapan publik yang telanjur terbuai janji kampanye. Namun, bukan berarti rapor lima bulan ini sebuah kegagalan. Semoga pemerintah terlecut oleh penilaian rakyat.
kontan Sebelum beraktivitas pagi ini, Anda bisa
menyimak sejumlah berita portofolio di Harian KONTAN edisi Rabu, 11
Februari 2015. Berikut cuplikannya.
Performa Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang mencetak rekor tertinggi baru turut melambaungkan nilai aset dasar sejumlah reksadana saham. Riset KONTAN menemukan 39 produk reksadana saham yang mencetak rekor tertinggi Nilai Aktiva Bersih per Unit Penyertaannya (NAB/UP) pada hari yang sama.
Analis memprediksi, IHSG bisa ditutup di level 5.800 hingga 5.950 pada akhir tahun ini. Dengan potensi tersebut, peluang pertumbuhan return reksadana saham masih terbuka lebar. Berapa perkiraan return reksadana saham yang bisa diraih hingga akhir tahun ini?
Selain itu diulas pula hasil lelang surat berharga syariah negara (SBSN) pada Selasa (10/2). Investor masih memburu SBSN alias sukuk tenor pendek pada lelang Selasa (10/2). Dari total penawaran yang masuk mencapai Rp 11,61 triliun, seri project based sukuk (PBS) 008 bertenor 1,5 tahun mendapat penawaran sebesar Rp 4,5 triliun. Apa alasan investor lebih memburu sukuk tenor pendek?
Simak berita selengkapnya di Halaman 6.
Performa Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang mencetak rekor tertinggi baru turut melambaungkan nilai aset dasar sejumlah reksadana saham. Riset KONTAN menemukan 39 produk reksadana saham yang mencetak rekor tertinggi Nilai Aktiva Bersih per Unit Penyertaannya (NAB/UP) pada hari yang sama.
Analis memprediksi, IHSG bisa ditutup di level 5.800 hingga 5.950 pada akhir tahun ini. Dengan potensi tersebut, peluang pertumbuhan return reksadana saham masih terbuka lebar. Berapa perkiraan return reksadana saham yang bisa diraih hingga akhir tahun ini?
Selain itu diulas pula hasil lelang surat berharga syariah negara (SBSN) pada Selasa (10/2). Investor masih memburu SBSN alias sukuk tenor pendek pada lelang Selasa (10/2). Dari total penawaran yang masuk mencapai Rp 11,61 triliun, seri project based sukuk (PBS) 008 bertenor 1,5 tahun mendapat penawaran sebesar Rp 4,5 triliun. Apa alasan investor lebih memburu sukuk tenor pendek?
Simak berita selengkapnya di Halaman 6.
Editor: Dupla KS
Bisnis.com, JAKARTA--Prediksi kinerja reksa dana saham tahun ini tak secemerlang tahun lalu bisa jadi benar. Sepanjang Januari 2015, imbal hasil reksa dana saham underperform atau lebih rendah dari pertumbuhan indeks harga saham gabungan.
Berdasarkan data PT Infovesta Utama, imbal hasil (return) reksa dana saham sepanjang Januari 2015 tercatat 0,62% atau di bawah pertumbuhan indeks harga saham gabungan (IHSG) yang sekitar 1,19%. Selain mencatat return lebih rendah dari IHSG, return reksa dana saham juga lebih rendah dibandingkan dengan reksa dana campuran dan reksa dana pendapatan tetap.
Return reksa dana campuran tercatat 0,96% dan reksa dana pendapatan tetap mencatatkanreturn cukup tinggi mencapai 3,31%. Padahal, sepanjang tahun lalu kinerja reksa dana saham sangat cemerlang. return reksa dana saham tahun lalu tercatat 27,86% atau di atas pertumbuhan IHSG yang 22,29%. Adapun, return reksa dana campuran tercaat 16,91% dan reksa dana pendapatan tetap 7,85%.
Bila melihat data tersebut, reksa dana pendapatan tetap atau yang sebagian besar asetnya obligasi menorehkan return yang bagus. Data Infovesta menunjukkan, Infovesta Government Bond Index yang merupakan acuan obligasi tercatat tumbuh 3,76% sepanjang Januari 2015.
Vilia Wati, analis PT Infovesta Utama, mengatakan lebih rendahnya imbal hasil reksa dana saham dibandingkan dengan reksa dana campuran dan pendapatan tetap disebabkan oleh kinerja bursa obligasi yang lebih unggul dibandingkan dengan saham pada periode tersebut.
Selama Januari, beberapa sentimen positif yang menopang kinerja bursa saham dan obligasi a.l adanya ekspetasi inflasi yang melandai pasca penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) dan stimulus yang dikucurkan oleh Bank Sentral Eropa.
Sementara itu, kinerja reksa dana saham yang lebih rendah dibandingkan dengan IHSG lebih disebabkan oleh pergerakan reksa dana saham yang cenderung lebih agresif dibandingkan dengan IHSG. Akibatnya, pada saat bursa saham beberapa kali terkoreksi secara harian di Januari, penurunan yang terjadi pada reksa dana saham lebih dalam.
“Akibatnya, jika diamati secara bulanan, kinerja reksa dana saham tercatat lebih rendah dibandingkan dengan IHSG,” kata Vilia saat dihubungi Bisnis, Senin (2/2/2012).
Dia memperkirakan, kinerja reksa dana saham yang masih di bawah pertumbuhan IHSG masih akan berlanjut dalam jangka pendek. “Masih berlanjut jika pergerakan IHSG masiih fluktuatif akibat minimnya sentimen positif dari domestik yang dapat mendongkrak tren positif di bursa saham,” jelasnya.