gW suka BANGET ketidakPASTIan

gW suka BANGET ketidakPASTIan

Minggu, 09 Januari 2011

HARVESTING, yes; INVESTING, have to ... lah : 090111

Strategi Berinvestasi di Reksa Dana
Strategi agresif berupa penempatan 70% di saham, 20% obligasi, dan 10% di pasar uang.
Kamis, 6 Januari 2011, 16:19 WIB
Arinto Tri Wibowo, Purborini


VIVAnews - Investasi reksa dana ditentukan berdasarkan periode investing (penanaman) dan masa harvesting (pemungutan hasil). Dalam masa ini alokasi aset menjadi penting.

"Berapa banyak dialokasikan di saham, obligasi, dan pasar uang," kata Direktur Riset dan Investor Relations Bahana Investment Management, Budi Hikmat, di Jakarta.

Periode investing, menurut Budi, dibagi menjadi 10, 15, dan 20 tahun. Setiap periode memiliki strategi masing-masing. Ada dua strategi agresif dan moderat.

Strategi agresif berupa penempatan 70 persen saham, 20 persen obligasi, dan 10 persen sisanya di pasar uang. Sementara itu, strategi moderat dengan penempatan 20 persen saham, 50 persen obligasi, dan 30 persen sisanya di pasar uang.

Untuk periode investing itu, Bahana menyarankan skema capital protected fund dengan menggunakan obligasi negara bertenor 5-10 tahun sesuai lama periode harvesting yang diinginkan.

Melalui skema tersebut, menurut dia, seluruh hasil investasi selama periode investing langsung diinvestasikan dalam obligasi negara. Investor akan memperoleh kucuran dana hingga akhir periode harvesting. "Kami asumsikan yield capital protected ini berkisar tujuh persen (5 tahun) dan 8,3 persen (10 tahun)," ujar dia.

Sementara itu, untuk pasar uang digunakan proyeksi suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebesar 6,5 persen.

Meski demikian, dia menjelaskan, investor harus memperhatikan risiko investasi. "Musuh utama investasi adalah inflasi," kata Direktur Pemasaran Bahana Investment Management, Rukmi Proborini. Sepanjang sepuluh tahun terakhir, rata-rata inflasi di Indonesia mencapai 8,3 persen.

Rukmi menambahkan, obligasi sebagai salah satu instrumen investasi rentan terhadap suku bunga dan inflasi. Artinya, investor yang membeli obligasi negara bertenor 10 tahun dengan yield 7,5 persen akan kurang terproteksi, karena risiko inflasi. Kelebihan likuiditas global menimbulkan risiko inflasi seperti di China, India, dan Australia.

Belum lagi, dia melanjutkan, pemerintah akan memberlakukan tarif pajak penghasilan (PPh) sebesar lima persen atas bunga obligasi pada instrumen investasi reksa dana mulai 2011. Namun, besaran pajak ini baru akan terasa pada 2014 karena besarannya menjadi 15 persen.

Atas dasar ini, Rukmi menyarankan untuk mengurangi proporsi obligasi pada portofolio investasi tahun ini. "Susah mencari obligasi dengan rating baik dan memberikan yield yang bagus. Apalagi dikenai pajak lima persen," kata dia.

Untuk itu, Rukmi menyarankan investor memperbesar portofolio saham dan pasar uang. Sumber keuntungan investasi saham terdiri atas dividen dan capital gain.

Total keuntungan per saham tentunya berbeda satu sama lain. Penempatan hanya pada satu saham juga memiliki risiko lebih besar ketimbang beberapa saham.

Berdasarkan data lima tahun terakhir, rata-rata total return atau pertumbuhan per tahun mencapai 29,6 persen untuk indeks harga saham gabungan (IHSG), 25,4 persen (LQ45), dan 24,8 persen (Jakarta Islamic Index). Sementara itu, untuk periode sepuluh tahun terakhir, pertumbuhan per tahun IHSG sebesar 28,4 persen, 28 persen (LQ45), dan 23,7 persen (Jakarta Islamic Index).

Sementara itu, untuk pasar uang memberikan tingkat pengembalian di atas deposito. "Melalui diversifikasi investasi di berbagai obligasi korporasi yang terkena pajak lebih rendah atas kupon dan capital gain yaitu sebesar lima persen, imbal hasil investasi di reksa dana pasar uang akan lebih tinggi dari suku bunga deposito bank yang diterima investor ritel," ujar Head of Fixed Income First State Indonesia, Eli Djurfanto.

Pada 2010, reksa dana pasar uang tumbuh sekitar 32 persen menjadi Rp7,72 triliun. "Untuk pemula, reksa dana pasar uang oke," kata Rukmi.
• VIVAnews
Memilih Reksadana Janjikan Untung Tinggi
Saat bunga deposito semakin menurun, reksadana pun menjadi alternatif pilihan investasi.
Kamis, 6 Januari 2011, 08:15 WIB
Nur Farida Ahniar, Purborini

VIVAnews- Dalam sepuluh tahun terakhir bunga deposito yang terus menurun membuat instrumen ini tidak bisa lagi diandalkan untuk investasi. Apalagi bunga deposito sudah lebih rendah ketimbang inflasi 2010 yang hampir mencapai 7 persen.

Tak pelak, investasi lain pun dilirik. Pilihannya adalah bermain di pasar modal, seperti saham atau reksadana. Namun, sebelum melakukan investasi, alangkah baiknya mengenal terlebih dahulu apa itu reksadana.

Reksadana adalah wadah dan pola pengelolaan dana/modal bagi sekumpulan investor untuk berinvestasi dalam instrumen-instrumen investasi yang tersedia di pasar dengan cara membeli unit penyertaan reksadana. Dana ini kemudian dikelola oleh Manajer Investasi (MI) ke dalam portofolio investasi, baik berupa saham, obligasi, pasar uang ataupun efek/sekuriti lainnya.

Director of Research and Investor Relation Bahana Investment Management Budi Hikmat mengatakan untuk investor pemula, sebaiknya memilih produk reksadana dengan aset pasar uang atau dikenal reksadana pasar uang. Tahun 2010, lalu reksadana ini memberikan keuntungan rata-rata 7 persen. Untuk produk ini, yang memberikan tingkat pengembalian paling tinggi adalah DPLK BRI fix dengan return 11,7 persen selama 1 tahun.

Sementara produk reksadana campuran memiliki rata-rata tingkat pengembalian hingga 30 persen. Produk tertinggi imbal hasilnya selama 3 tahun yaitu Brent Dana Fleksi.

Adapun produk reksadana terproteksi memiliki rata-rata tingkat pengembalian 8 persen. Reksa Dana Terproteksi diinvestasikan pada obligasi dengan tujuan memberikan proteksi atas investasi awal. Mengapa demikian? Intinya ada pada salah satu konsep dasar obligasi, yaitu obligasi pada saat jatuh tempo harganya akan kembali ke 100 (par).

Produk reksadana dengan tingkat pengembalian tertinggi untuk tipe reksadana terproteksi adalah Schroder Regular Income Plan VIII sebesar 23,32 persen per tahun.

Produk reksadana pendapatan tetap dengan dasar obligasi yang notabene memberikan bunga (kupon) secara periodik. Sepanjang 2010, produk ini memberikan return sebesar 10 persen rata-rata. Produk dengan return tertinggi produk Kresna Olympus sebesar 83,41 persen selama 1 tahun. Sedangkan produk tertinggi yang memberikan imbal hasil selama 3 tahun yaitu GMT Dana Obligasi Plus.

Data Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan menunjukkan hingga 28 Desember 2010 reksadana yang tercatat sebanyak 714 produk dengan nilai aktiva bersih sebesar Rp 142,81 triliun atau meningkat 22,34 persen dari tahun sebelumnya. (hs)
• VIVAnews
Kenapa Investasi Deposito Makin Tak Menarik
"Sangat sulit untuk tidak menyimpulkan bahwa deposito tidak menjamin kesejahteraan"
Rabu, 29 Desember 2010, 13:29 WIB
Nur Farida Ahniar


VIVAnews- Deposito jaman dulu pernah menjadi primadona dalam berinvestasi. Namun agaknya tidak berlaku di jaman sekarang.

Deposito menjadi primadona semenjak krisis moneter 1998 karena pemerintah masih memberlakukan program penjaminan secara penuh. Deposito juga dianggap menguntungkan karena mampu mengalahkan inflasi dan lebih tinggi dari investasi pasar modal.

Dalam Catatan Akhir Tahun 2010 yang ditulis Bahana TCW Investment Mangement, keyakinan itu terus menurun sehingga tidak dapat diandalkan melawan inflasi terutama terkait komoditas makanan dan pendidikan. Peragaan Bahana menunjukkan indeks kapitalisasi deposito selama 10 tahun terakhir masih kalah dengan inflasi pendidikan dan inflasi makanan.

"Sangat sulit untuk tidak menyimpulkan bahwa deposito tidak menjamin kesejahteraan. Deposito boleh jadi hanya cocok untuk orang yang sangat kaya, yang tidak peduli nilainya tergerus oleh inflasi," tulis Bahana.

Lantas mengapa deposito semakin sulit diandalkan?

Pertama, pemangkasan subsidi BBM

Hal ini menimbulkan inflasi dan mendorong suku bunga naik. Namun, keputusan berat itu justru meningkatkan kepercayaan investor, terutama asing. Sebab mereka menyakini peningkatan kemampuan pemerintah membayar kewajiban bunga dan pokok yang jatuh tempo. Hal ini tercermin dari lonjakan kepemilikan asing surat utang negara yang menunjukkan ada arus masuk modal asing.

Kelebihan itu disimpan di dalam SBI yang ongkosnya menjadi beban Bank Indonesia. Hal ini membuat BI enggan menaikkan bunga terlebih bila rupiah menguat yang menurunkan risiko inflasi. Selama saldo SBI ini masih tinggi, bank relatif kurang membutuhkan dana masyarakat seperti tercermin pada relatif rendahnya suku bunga deposito. Itu sebabnya bunga deposito tetap rendah.

Kedua, krisis keuangan global 2008.

Krisis membuat peningkatan daya tarik obligasi pemerintah. Negara maju telah meningkatkan posisi utang, dan memperburuk risiko gagal bayar. Adanya stimulus yang digelontorkan negara maju juga membuat Indonesia lebih menawan. Kelebihan likuiditas yang disimpan perbankan dalam bentuk SBI terus menggunung. Bila setiap tahun perbankan mampu menyalurkan kredit sebesar Rp 160 triliun, "maka boleh jadi suku bunga deposito akan terjaga rendah hingga tahun depan," tulis Bahana.
• VIVAnews
... coba baca posting gw soal INFLASI, deposito, dan saham/reksa dana saham: inflasi, investasi dan SAHAM

Tidak ada komentar: