gW suka BANGET ketidakPASTIan

gW suka BANGET ketidakPASTIan

Selasa, 03 Januari 2012

cra$h itu opportunity cost ... 0301112

Belajar dari Market Crash 2008 Oleh Wawan Hendrayana | Senin, 2 Januari 2012 | 10:25 investor daily Semua investor berharap 2012 adalah tahun yang baik dan menggairahkan bagi industri pasar modal, setelah tahun 2011 dilewati dengan kurang menggembirakan. Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada 2011 hanya tumbuh 3,2%. Sejumlah analis memprediksikan 2012 ini adalah tahun yang baik bagi pasar modal. Ini didasarkan pada sejumlah faktor fundamental pada ekonomi Indonesia, antara lain, pertumbuhan ekonomi yang positif, rasio utang yang terus menurun, inflasi yang terkendali, dan juga kembalinya rating negara kita ke negara layak investasi atau investment grade. Namun, sebagian analis lainnya tampaknya masih sulit menebak arah IHSG pada tahun ini jika berkaca pada kondisi dunia yang masih dibayangi krisis utang di Eropa, perlambatan ekonomi global, dan isu overheat di Tiongkok. Dalam dunia pasar modal sendiri, siklus bearish dan bullish memang selalu berulang, sehingga timbul istilah history repeat itself, sejarah selalu berulang. Oleh karena itu, tidak ada salahnya apabila investor selalu bersiap-siap, termasuk melihat kemungkinan terburuk. Sejarah Selalu Berulang Salah satu langkah bijak yang perlu dilakukan investor adalah belajar dari kejadian sebelumnya tentang apa yang terjadi dan posisi apa yang sebaiknya diambil untuk meminimalisasi dampak penurunan atau bahkan perolehan keuntungan.
Dalam hal ini, kita bisa memetik pelajaran berharga dari kejadian market crash pada 2008, salah satu crash terburuk yang terjadi 10 tahun terakhir dan melihat apa yang terjadi pada saham- saham di Indonesia. Pengamatan difokuskan pada 45 saham yang tergabung dalam indeks LQ45 per Agustus 2008 sebelum market crash. Pemilihan LQ45 diambil karena ini merupakan 45 saham paling likuid pada saat tersebut, sehingga dapat mencerminkan pergerakan pasar (IHSG).
Sepanjang tahun 2008, IHSG mengalami crash hingga titik terendah sebesar -59% dibanding awal tahun. Kejatuhan terjadi lebih dalam dialami oleh sektor pertanian (77%), sektor pertambangan (-76,4%) dan sector aneka industri (-63%). Sedangkan sector yang jatuhnya paling “kecil” adalah konsumsi (-36%), keuangan (-52%), dan infrastruktur (-57%).
Crash 2008 memang menarik untuk dijadikan acuan. Pada pengamatan kali ini kita asumsikan investor mengalami “kesialan” dengan membeli setiap saham LQ45 pada harga tertingginya di tahun 2008. Setelah terjadi Black October di mana IHSG jatuh 31% dalam satu bulan akibat terjungkalnya harga saham secara keseluruhan, berapa lama investor dapat kembali ke modal awalnya?
Dari 45 saham yang tergabung di indeks LQ45 ternyata hingga kini yang sudah kembali ke harga tertinggi pada 2008 hanya ada 19 saham (atau 42%). Dari 19 yang kembali ke harga tertingginya rata-rata membutuhkan 653 hari kalender. Hasil yang cukup mengejutkan karena ternyata probabilitas untuk kembali ke harga tertinggi setelah mengalami crash di bawah 50% bahkan setelah 3 tahun. Lalu, apakah kapitalisasi pasar berpengaruh terhadap probalilitas harga saham untuk kembali ke harga tertingginya?
Untuk menjawab pertanyaan ini maka pengamatan dilanjutkan dengan membagi 45 saham LQ45 berdasarkan kapitalisasinya ke dalam tiga bagian. Sebanyak 15 saham dengan kapitalisasi terbesar digolongkan sebagai saham besar, lalu 15 saham berikutnya sebagai saham menengah, dan 15 saham sisanya dengan kapitalisasi terkecil sebagai saham kecil.
Untuk golongan saham kapitalisasi besar ternyata hanya 7 dari 15 saham (46,7%) yang kembali ke harga tertingginya dengan rata-rata membutuhkan 544 hari kalender, untuk golongan menengah juga menghasilkan statistik yang sama (7 dari 15) dengan rata-rata membutuhkan 616 hari kalender dan untuk golongan kecil hanya 5 dari 15 (33.3%) yang kembali ke harga tertinggi di tahun 2008 dengan rata-rata membutuhkan 653 hari.
Dari hasil pengamatan sederhana tersebut di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa investor harus berhati-hati ketika membeli saham dalam tren bullish karena bila crash terjadi ternyata saham dengan kapitalisasi besar sekalipun bukanlah jaminan harganya akan kembali naik. Namun demikian saham dengan kapitalisasi besar memiliki potensi kembali lebih cepat daripada saham berkapitalisasi menengah ataupun kecil walaupun tetap dengan probabilitas masih di bawah 50%.
Lalu bagaimana bila sahamnya dipegang hingga saat ini? Bila dirata-ratakan, return investor yang membeli masing-masing harga saham LQ45 pada harga tertingginya pada 2008 hingga 30 Desember 2011 adalah 3,96% dalam 1408 hari. Namun, angka ini pun tertolong oleh saham CPIN yang memiliki return 815% dalam periode tersebut hal ini dapat dianggap sebagai outlier karena saham tertinggi berikutnya adalah ASII sebesar 150%. Bila CPIN tidak disertakan maka rata-rata saham LQ45 menjadi -14,7%. Fenomena yang harus siap dihadapi oleh investor saham. Hadapi Hal-hal Terburuk Berdasarkan kenyataan terebut investor memang harus lebih cermat saat membeli saham yang mencatat rekor harga tertinggi. Pasalnya, bila terjadi crash akan sulit bagi investor untuk menutup kerugian yang dialaminya. Untuk menutup kerugian tersebut dibutuhkan waktu yang relatif lama (hingga minimal 1,5 tahun) dan dengan probabilitas di bawah 50%. Jadi, memilih saham menjadi sangat penting karena dengan saham yang salah uang investor bisa tidak kembali walaupun sudah dipegang selama empat tahun. Hasil pengamatan ini dapat berubah bila periode pengamatan diubah. Sebagai investor kita tentu berharap saham akan naik dalam jangka panjang. Namun, karena pergerakan saham sangat dinamis dan saling terkaitnya di pasar global, banyak kejadian yang tidak diprediksikan sebelumnya malah dapat terjadi. Karena itu, investor sebaiknya mempersiapkan hal-hal terburuk dengan menerapkan manajemen risiko. Salah satunya adalah dengan memiliki cutloss poin, misalnya 8-10%, dan menerapkanya dengan disiplin untuk menghindari dananya terjebak dalam waktu lama di suatu saham. Penulis adalah research & investment analyst Infovesta www.infovesta.com

Tidak ada komentar: