gW suka BANGET ketidakPASTIan

gW suka BANGET ketidakPASTIan

Senin, 15 Agustus 2011

KPD lage (4) ... 150811

Desakan Nonaktif Untuk Dua Kepala Biro Bapepam
Headline
Oleh:
Pasar Modal - Senin, 15 Agustus 2011 | 13:32 WIB


INILAH.COM, Jakarta - Keteledoran dua kepala Biro Bapepam dalam mengawasi transaksi PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) dan lima manajer investasi, memicu kerugian negara sebesar Rp500 miliar. Desakan nonaktif bagi kedua oknum tersebut pun menyeruak.

Pengamat Pasar Modal Adler Heymans Manurung menyarankan agar ketua Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan) segera menonaktifkan Djoko Hendrato (Kepala Biro Pengelolaan Investasi) dan Sardjito (Kepala Biro Pemeriksaan dan Penyidikan). “Ini untuk memudahkan penyidikan, mengingat kejadian ini merupakan mata rantai tindak pidana yang harus diusut tuntas,” ujarnya kepada INILAH.COM.

Seperti diketahui, Promissory Notes (PN) yang merupakan salah satu bagian dari penyimpangan dana investasi Askrindo hampir Rp 500 miliar, disalahgunakan. Yakni dengan menjadikan PN sebagai produk pasar modal dan dimasukkan dalam reksadana.

Peraturan Bapepam yang menyebut instrumen pasar uang bertenor kurang dari satu tahun, telah diinterpretasikan oleh MI (Manajemen Investasi), mencakup juga PN. Sehingga MI berani menawarkan produk reksadana berisi PN Askrindo, “Telah terjadi kesalahan di tingkat regulator, sehingga produk itu bisa masuk ke instrumen reksadana,” paparnya.

Kondisi itu dinilai Adler, secara jelas telah memanfaatkan celah peraturan Bapepam-LK Nomor IV.C.3 yang tidak mendefinisikan soal Promisori Notes. ”Menurut saya telah terjadi moral hazzard dan kongkalikong antara regulator (Bapepam) dan MI sehingga PN bisa masuk reksadana,” kata mantan Ketua Asosiasi Pengelola Reksadana Indonesia itu.

Ia menjelaskan, selain saham, yang boleh masuk di reksadana seharusnya instrumen pasar uang yang telah dirating oleh perusahaan pemeringkat dan tercatat di Bapepam-LK. ”PN bukan termasuk produk pasar modal, karena tidak melakukan penawaran umum dan tidak tercatat di Bapepam. PN sifatnya perdata,” tegasnya.

Ia menambahkan, mengingat PN adalah produk perjanjian utang dua pihak secara perdata, maka tidak semestinya diurus Bapepam. “Bapepam seharusnya lebih mengurus kepentingan publik,” katanya.

Adapun dalam Peraturan Presiden RI Nomor 9 tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan, PN atau sanggup bayar adalah surat pernyataan kesanggupan tanpa syarat, untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada pihak yang tercantum dalam surat tersebut atau kepada penggantinya.

Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI melalui komisi XI, sedang memperdalam soal PN dan obligasi jangka pendek yang tidak transparan, akibat lemahnya pengawasan dan praktik yang tidak ketat.

Sejak 2005, dana Askrindo diduga disalahgunakan, dengan cara membiayai nasabah korporat dan menjamin PN yang diterbitkan korporat dan bukan UKM. Akibatnya berbagai kredit tersebut macet dalam jumlah besar.

Sebagai upaya menutup kerugiannya, Askrindo melakukan rekayasa keuangan (window dressing) dengan cara seolah-olah melakukan transaksi dengan sejumlah sekuritas, berupa investasi dalam bentuk kontrak pengelolaan dana (KPD) dan repo saham. Namun transaksi tersebut ditengarai fiktif dan tidak bisa ditagih. Rekayasa keuangan tersebut dilakukan bukan hanya oleh Askrindo, tetapi juga 10 perusahaan MI.

Baru-baru ini Bapepam LK merilis temuannya bahwa memang langkah Askrindo berinvestasi dalam bentuk Repurchase Agreement (Repo), obligasi, reksadana, dan Kontrak Pengelolaan Dana (KPD) terdapat kesalahan. Terutama di tiga perusahaan MI dan dua perusahaan non-MI yang disinyalir telah menyalahi aturan yang berlaku.

Terkait hal ini, Ketua Bapepam LK Nurhaida mengatakan, investasi senilai Rp 439 miliar tersebut, tidak sesuai peraturan Bapepam LK Nomor V.G.6 tentang Pedoman Pengelolaan Portofolio Efek Untuk Kepentingan Nasabah Secara Individual dan Lampiran Keputusan Ketua Bapepam LK Nomor: KEP-112/BL/2010 Tanggal 16 April 2010.

”Dalam peraturan tersebut, setiap MI wajib menyesuaikan ketentuan dimaksud, paling lambat 16 April 2011 dalam hal melaksanakan kegiatan terkait KPD. Pasalnya, berdasar hasil pemeriksaan kepatuhan 2009-2010, kami menemukan praktik-praktik kontrak pengelolaan investasi yang tidak sesuai aturan tersebut,” ujarnya.

Nurhaida menuturkan, praktik yang tidak sesuai ketentuan tersebut diantaranya KPD antara Askrindo dan PT Harvestindo Asset Management (HAM) senilai Rp 80 miliar (Repo dan KPD), PT Jakarta Investment (JI) senilai Rp 173,75 miliar (repo dan KPD), PT Reliance Asset Management (RAM) Rp 93,32 miliar (repo dan KPD), dan dua perusahaan non MI PT Batavia Prosperindo Financial Services (BPFS) senilai Rp 6,5 miliar (repo)dan PT Jakarta Securities (JS) Rp 86,11 miliar dari repo Rp 20 miliar dan obligasi di antaranya Rp 66,11 miliar. ”Tetapi untuk obligasinya, ketika kita tanya mereka tidak punya barang buktinya,” ucapnya. [ast]

Tidak ada komentar: